Secara umum sifat playing victim memiliki pengertian yakni suatu perilaku seseorang yang selalu memposisikan diri sebagai korban dalam berbagai situasi, sering kali untuk mendapatkan simpati, perhatian, atau keuntungan tertentu. Orang yang memiliki sifat ini cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan atas masalah yang mereka hadapi, tanpa mau mengambil tanggung jawab atas peran mereka sendiri.Â
Mereka sering merasa bahwa dunia tidak adil kepada mereka dan menggunakan narasi tersebut untuk menghindari kritik atau konsekuensi dari tindakan mereka. Sifat ini dapat merusak hubungan interpersonal karena orang lain mungkin merasa dimanipulasi atau lelah menghadapi keluhan yang terus-menerus.
Sedangkan di sisi yang lebih detail sifat playing victim dalam suatu hubungan adalah kecenderungan seseorang untuk terus-menerus memposisikan dirinya sebagai korban dalam interaksi dengan pasangan, teman, atau anggota keluarga.Â
Orang yang memiliki sifat ini biasanya menyalahkan pasangan atau orang lain atas masalah yang terjadi dalam hubungan, tanpa mau mengambil tanggung jawab atas kontribusi mereka sendiri terhadap konflik tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan, di mana satu pihak selalu merasa bersalah atau bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kesejahteraan pihak yang bermain sebagai korban.
Menurut para ahli, sifat playing victim dalam hubungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Dr. Stephen Karpman:
Dr. Karpman, pencipta model Drama Triangle, menjelaskan bahwa bermain sebagai korban adalah salah satu dari tiga peran utama dalam pola interaksi yang tidak sehat, selain peran penyelamat dan peran pelaku. Dalam konteks ini, korban sering kali menarik perhatian penyelamat dan menyalahkan pelaku atas semua masalah mereka. Hal ini menciptakan siklus disfungsi yang sulit dipecahkan.
2) Dr. Tim Clinton dan Dr. Ron Hawkins:
Dalam buku mereka, "The Quick-Reference Guide to Biblical Counseling", Clinton dan Hawkins menyatakan bahwa orang yang bermain sebagai korban sering kali memiliki ketidakmampuan untuk melihat peran mereka sendiri dalam konflik. Mereka juga mungkin menggunakan peran korban untuk menghindari tanggung jawab atau untuk memanipulasi orang lain agar memenuhi kebutuhan emosional mereka.
3) Dr. Patricia Farrell:
Dr. Farrell, seorang psikolog klinis, menyebutkan bahwa orang yang sering bermain sebagai korban mungkin memiliki masalah harga diri dan kepercayaan diri yang rendah. Mereka mungkin merasa tidak berdaya dan menggunakan peran korban sebagai mekanisme pertahanan untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari orang lain.
4) Dr. Guy Winch:
Dr. Winch, seorang psikolog dan penulis, menekankan bahwa sifat playing victim dapat merusak hubungan jangka panjang. Orang yang terus-menerus memposisikan diri sebagai korban dapat menyebabkan frustrasi dan kelelahan emosional bagi pasangannya, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kehancuran hubungan.
Memahami sifat playing victim dan dampaknya dalam hubungan adalah penting untuk menciptakan interaksi yang lebih sehat dan seimbang. Terapi dan konseling dapat membantu individu untuk mengenali dan mengubah pola perilaku ini, serta membangun keterampilan yang diperlukan untuk mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakan mereka sendiri.
Sifat playing victim bisa muncul dalam diri seseorang karena berbagai alasan yang kompleks dan bervariasi, yang sering kali terkait dengan latar belakang psikologis, emosional, dan sosial. Beberapa penyebab umum dari sifat ini antara lain:
1. Pengalaman Masa Lalu
Trauma dan Kekerasan: Orang yang pernah mengalami trauma atau kekerasan mungkin mengembangkan sifat playing victim sebagai mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari rasa sakit emosional lebih lanjut.
Pengabaian dan Penolakan: Pengalaman masa kecil yang penuh dengan pengabaian atau penolakan bisa membuat seseorang merasa tidak berdaya dan rentan, sehingga mereka lebih mudah mengambil peran korban dalam situasi konflik.
2. Kebutuhan Emosional
Mencari Perhatian dan Simpati: Bermain sebagai korban bisa menjadi cara untuk mendapatkan perhatian, simpati, dan dukungan dari orang lain. Orang tersebut mungkin merasa tidak bisa mendapatkan perhatian dengan cara lain.
Menghindari Tanggung Jawab: Dengan memposisikan diri sebagai korban, seseorang bisa menghindari tanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan mereka, sehingga tidak perlu menghadapi konsekuensi atau kritik.
3. Pola Asuh dan Lingkungan Sosial
Lingkungan yang Tidak Mendukung: Tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung atau penuh kritik bisa membuat seseorang merasa rendah diri dan tidak berdaya, sehingga lebih cenderung memposisikan diri sebagai korban.
Model Peran Negatif: Jika seseorang tumbuh dengan melihat model peran (seperti orang tua atau figur otoritas) yang sering bermain sebagai korban, mereka mungkin meniru perilaku ini dalam hubungan mereka sendiri.
4. Masalah Psikologis dan Emosional
Harga Diri Rendah: Orang dengan harga diri rendah sering kali merasa tidak berdaya dan tidak layak, sehingga mereka lebih mudah memposisikan diri sebagai korban.
Gangguan Kecemasan dan Depresi: Kondisi mental seperti kecemasan dan depresi bisa membuat seseorang merasa lemah dan tidak berdaya, yang memperkuat perilaku playing victim.
5. Dinamika Hubungan
Ketergantungan Emosional: Dalam hubungan yang tidak seimbang, seseorang mungkin menggunakan peran korban untuk mempertahankan ketergantungan emosional pada pasangan atau orang lain.
Manipulasi dan Kontrol: Bermain sebagai korban bisa menjadi cara untuk memanipulasi dan mengontrol orang lain, membuat mereka merasa bersalah atau bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan korban.
Memahami penyebab sifat playing victim adalah langkah pertama dalam mengatasi perilaku ini. Beberapa pendekatan untuk penanganannya meliputi:
Terapi Psikologis: Konseling atau terapi dengan seorang profesional dapat membantu individu memahami dan mengatasi akar dari perilaku ini.
Pengembangan Harga Diri: Meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri melalui dukungan sosial, pendidikan, dan aktivitas positif dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk bermain sebagai korban.
Pendidikan dan Kesadaran:Â Memahami dampak negatif dari perilaku playing victim dan belajar strategi untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan sendiri dapat membantu mengubah pola ini.
Pengembangan Keterampilan Koping:Â Mengembangkan keterampilan koping yang sehat untuk mengelola stres dan konflik dapat mengurangi kebutuhan untuk memposisikan diri sebagai korban.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H