Babak baru penyelesaian kasus pembunuhan Vina asal Cirebon yang terjadi 8 tahun silam atau tepatnya 2016 lalu telah masuk pada tahap penangkapan terduga otak dari pelaku pembunuhan yakni Pegi Setiawan. Dalam rilisnya beberapa hari lalu, Polda Jawa Barat dikabarkan telah secara resmi menangkap Pegi Setiawan alias Perong sebagai tersangka kasus pembunuhan Rizky Rusdiana alias Eky dan Revina Dewi Arsita atau Vina di Cirebon, Jawa Barat. Pegi sendiri dikabarkan merupakan DPO kasus pembunuhan Vina, bersama dengan delapan orang lainnya yang telah divonis penjara pada 2017 silam. Polisi dalam keterangannya, juga melakukan penggeledahan terhadap rumah milik keluarga Pegi.Â
Lantas, apa alasan mendasar sehingga Polisi baru bisa menangkap Pegi padahal kasusnya saja sudah 8 tahun yang lalu terjadi? Benarkah hanya karena film 7 Hari Sebelum Kematian Vina yang viral baru Polisi tergugah kembali hatinya untuk menyelesaikan kasus ini?
Menurut pihak kepolisian sendiri yang disampaikan pada 26 Mei 2024 lalu, Polisi menjelaskan alasan mengapa penangkapan Pegi memerlukan waktu hingga 8 tahun yakni karena tersangka lainnya tidak berani mengungkapkan sosok Pegi yang sebenarnya kepada polisi. Namun anehnya, pada saat konferensi pers yang diadakan kepolisian justru Pegi menyangkal dan membantah segala hal yang dituduhkan kepadanya dan ia berkata bahwa itu hanyalah fitnah.Â
Menurut kepolisian, Pegi ini akan dikenakan Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana mati, seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.Â
Walau telah ditetapkan bahwa Pegi merupakan tersangka utama atau otak dari pelaku kasus pembunuhan Vina, banyak dari masyarakat yang ragu dengan segala keterangan diberikan kepolisian dalam hal ini Polda Jawa Barat. Bahkan, banyak kejanggalan yang berseliweran di media sosial termasuk teka-teki tentang salah tangkap. Seperti yang sering kita lihat di media sosial bahwa sosok yang menjadi DPO dari kasus pembunuhan Vina adalah Egi Setiawan bukan Pegi. Bahkan Pegi sendiri merupakan warga biasa yang merupakan seorang kuli bangunan dan bukanlah kumpulan anak geng motor seperti apa yang dituduhkan.Â
Bahkan yang paling janggal, jika kata polisi saja tahanan lain tak berani mengungkapkan sosok Egi atau Pegi yang ditangkap hari ini, berarti ada tekanan dari Egi atau bahkan keluarganya agar tersangka lain tak buka mulut. Bisa jadi, Egi ini merupakan salah satu anak dari seseorang yang punya pengaruh besar di pemerintahan Jawa Barat khususnya Cirebon. Benarkah demikian? Silakan berasumsi.
Dari rumit dan runyamnya penyelesaian kasus Vina, muncul ketidakpuasan masyarakat terhadap integritas institusi Polri dalam hal ini Kepolisian Daerah Jawa Barat. Masyarakat cenderung tak menemukan hal yang kuat untuk bisa percaya pada institusi Polri akhir-akhir ini. Itu bisa kita lihat dari banyak sekali berita di sosmed yang justru membingungkan akibat dari keputusan yang diambil pihak kepolisian dalam menyelesaikan suatu perkara.Â
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri (Kepolisian Republik Indonesia) telah menjadi isu yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa contoh kasus yang telah mencoreng citra Polri dan menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat antara lain:
1) Kasus Ferdy Sambo:
Insiden Penembakan Brigadir J: Pada tahun 2022, kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) oleh Irjen Ferdy Sambo menggemparkan publik. Brigadir J diduga ditembak mati atas perintah Ferdy Sambo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri. Kasus ini menjadi sorotan nasional karena melibatkan perwira tinggi polisi dan dugaan rekayasa TKP serta penghilangan barang bukti.
2) Kekerasan dan Tindakan Brutal Polisi:
Penanganan Demonstrasi: Banyak insiden di mana polisi dituduh menggunakan kekerasan berlebihan dalam menangani demonstrasi. Contohnya adalah aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh yang menolak UU Cipta Kerja pada tahun 2020, di mana terdapat banyak laporan mengenai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap demonstran.
3) Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang:
Kasus Korupsi: Beberapa anggota Polri terlibat dalam kasus korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang. Misalnya, kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, Djoko Susilo, pada tahun 2012, yang dihukum karena menerima suap dalam pengadaan alat simulator SIM.
4) Narkoba dan Keterlibatan Anggota Polri:
Peredaran Narkoba: Ada beberapa kasus di mana anggota Polri terlibat dalam jaringan peredaran narkoba. Contohnya, pada tahun 2018, Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol Tuty Sri Cahyani, ditangkap karena terlibat dalam kasus narkoba.
5) Kasus Pembunuhan Aktivis dan Wartawan:
Kasus Munir: Pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada tahun 2004 hingga kini masih menjadi catatan kelam karena belum sepenuhnya terungkap siapa dalang utama di balik pembunuhan tersebut. Ada tuduhan bahwa aparat keamanan terlibat atau setidaknya tidak sepenuhnya transparan dalam penyelidikan.
Kasus-kasus ini menunjukkan beberapa alasan mengapa kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri menurun. Faktor-faktor seperti penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya transparansi dalam penyelidikan, serta kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi telah memberikan dampak negatif terhadap persepsi publik terhadap Polri. Pemulihan kepercayaan ini membutuhkan reformasi mendalam dan komitmen untuk penegakan hukum yang adil dan transparan.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H