"Hak asasi manusia adalah hak perempuan dan hak perempuan adalah asasi manusia, untuk selamanya". Hillary Clinton
Sejak  masa memperjuangan kemerdekaan Indonesia atau tepatnya pada era kolonialisme bangsa Barat di Indonesia tentu kita kerap membaca dan menemukan berbagai permasalahan pelik dan rumit yang dialami masyarakat Indonesia yang hidup di zaman itu. Mulai dari perbudakan, diskriminasi sosial, agresi senjata, sengketa wilayah yang berujung pada peperangan dan pembantaian warga masyarakat lokal, permasalahan ekonomi, disintegrasi suatu wilayah, hingga pada isu penindasan terhadap kaum perempuan telah menjadi sebuah catatan kelam dari perjalanan panjang negara Indonesia dalam cita-cita menjadi bangsa yang merdeka.
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, telah lahir para tokoh perempuan yang rela berjuang selama masa hidupnya demi kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus berjuang untuk melindungi dan menjaga hak-hak hidup perempuan sebagai bagian penting dari masyarakat Indonesia.
Nama-nama seperti Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara pada 21 April 1879 adalah salah satu bukti bahwa Indonesia pernah memiliki seorang pionir, pejuang, serta pahlawan perempuan yang rela mempertaruhkan hidupnya untuk memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki khususnya di era pemerintahan kolonial. Selain itu, jangan lupakan sosok para tokoh perempuan tangguh lainnya  sekaligus pahlawan bangsa dan negara macam Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, Fatmawati, Ruhana Kuddus, RA Kardinah, Rukmini, dan masih banyak lagi.
Mereka adalah wujud dari perjuangan para kaum perempuan dalam mewujudkan misi Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Baik merdeka dari jajahan bangsa Barat, serta merdeka dalam hal kehidupan sosial, ekonomi, akses pendidikan layak, kesetaraan gender, hingga merdeka dalam hal berperan membangun jalannya sistem pemerintahan di Indonesia.
Sejarawan Reggie Baay (2010) dalam buku berbahasa Indonesia dengan judul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, mengungkapkan secara detail tentang sejarah pergundikan yang berlangsung hampir sepanjang masa pendudukan Belanda di Indonesia. Dalam buku tersebut, Baay menuliskan bahwasannya pergundikan berawal pada saat dimulainya kolonisme itu sendiri yaitu pada abad ke-16/awal  hingga abad ke-17 saat negara-negara di Asia salah satunya Indonesia kedatangan rombongan dagang Eropa, termasuk di dalamnya rombongan dagang Belanda yang datang dengan nama Koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda). Rombongan yang datang pada saat itu, didominasi oleh para laki-laki dan hanya sedikit perempuan yang ikut pada saat itu.
Jadi jika kita mencoba memahami tentang proses awal datangnya bangsa Eropa ke Indonesia serta mencoba memelajari dan mengkaji tentang tujuan Bangsa Eropa datang ke Indonesia tentu tak hanya sekedar berdagang dan mencoba menguras habis kekayaan alam negara Indonesia, namun mereka juga menjalankan berbagai  misi termasuk keinginan untuk menguasai Indonesia secara menyeluruh, menanamkan ideologi barat di Indonesia, mengatur dan ikut serta dalam membangun bidang pendidikan, mengatur jalannya perputaran kehidupan masyarakat, hingga sampai pada perbuatan yang tidak manusiawi seperti melakukan perbudakan dan menerapkan sistem kerja paksa bagi para masyarakat lokal.
Selain itu, para perempuan yang hidup pada saat itu dengan sebutan perempuan gundik atau disebut juga nyai memasuki dunia pergundikan melalui banyak cara, di antaranya ada yang melalui paksaan, bahkan sengaja  dijual oleh orang tuanya sendiri demi sejumlah uang. Tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh yang secara tersurat dituliskan dalam sajian novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Bumi Manusia adalah salah satunya. Bahkan sebutan gundik telah dijadikan sebagai stigma yang mengacu pada terminologi "gundik" dengan konotasi yang cenderung negatif. Permasalahan tentang isu rasialisme, penindasan gender, perampasan hak hidup, penindasan kelas hidup, dan permasalahan lainnya muncul karena pada saat itu sistem patriarki atau kuasa dipegang sepenuhnya oleh para laki-laki.