Seberapa tahukah anda tentang istilah "toxic" atau yang ramai dibicarakan saat ini yaitu "toxic relationship"?Â
Toxic dalam artian general mengacu pada suatu perbuatan di mana seseorang terperangkap dalam lingkungan atau cyrcle yang cenderung tidak sehat.Â
Adanya perilaku negatif seperti diskriminasi, intimidasi, hingga pengcilan seseorang yang berdampak pada menurunnya kualitas karakter seseorang hingga pada akhirnya terbunuhnya karakter serta mental adalah ujung dari perbuatan toxic. Namun dalam pengertian kali ini, kita akan mencoba mengkaji istilah toxic dalam ruang lingkup pekerjaan.
Terjun ke dunia kerja adalah suatu keharusan yang dialami dan dijalani oleh sebagian besar masyarakat terutama bagi mereka yang memang masih termasuk dalam kategori usia produktif. Baik usia tua maupun muda, mencari pengalaman hidup dari dunia kerja menjadi sebuah kewajiban yang niscaya pasti dijalani.Â
Mendapatkan teman kerja yang baik, rekan kerja yang kooperatif, terhindar dari iri dengki, tidak dibicarakan hal-hal berbau privasi, hingga adanya kualitas pemimpin yang mengayomi serta menyejahterakan adalah dambaan bagi mereka para pencari kerja.
Walau keinginan dan harapan setinggi itu, namun pada kenyataannya justru tak seindah yang didapatkan. Kita yang bekerja atau baru saja mendapatkan pekerjaan, sering dipaksa untuk menjalani lingkungan kerja yang tidak sehat (toxic).Â
Jika sudah demikian, kita kan dengan mudah terganggu mental dan psikis hingga akhirnya berdampak pada kualitas kinerja di tempat kerja. Lalu, sebagai pencari kerja maupun yang sudah lama bekerja, bagaimanakah cara mengenali lingkungan kerja yang toxic?
1. Berkubu-kubu (One Cyrcle Only)
Awal terciptanya lingkungan kerja yang toxic adalah berkubu-kubu atau berkelompok dalam suatu sistem. Memang tak ada salahnya kita ketika bekerja mendapatkan teman yang sefrekwensi atau yang satu daerah maupun sama dalam latar belakang suku, agama dan lain sebagainya.Â
Namun hal tersebut kerap menjadi masalah di mana ada pihak yang justru memihak kumpulan atau circlenya saja ketika mengerjakan suatu tugas yang diberikan oleh atasan.Â
Akibatnya, koordinasi, relasi, dan kolaborasi antar pegawai kantor tak berjalan optimal. Beban kerja yang harusnya bisa dengan cepat diselesaikan sebelum target waktu yang diberikan justru diselesaikan tak sesuai target waktu dan hasilnya belum tentu maksimal.Â
Inilah menjadi penyebab di mana sikap individualistis tumbuh subur. Alangkah baiknya, sebagai pekerja kita perlu berbaur dan memaksimalkan kemampuan beradaptasi serta bersinergi dengan pihak lain agar tujuan yang dibebankan oleh perusahaan dapat tercapai.
2. Kurangnya kesempatan berkembang
Mendapatkan fasilitas yang memadai, mendapat hak dalam peningkatan kompetensi dan keahlian, serta memiliki kesempatan yang sama dalam menambah pengalaman kerja adalah sebuah tuntutan yang wajib dipenuhi oleh perusahaan.Â
Sering kali, kita yang telah lama bekerja justru tak banyak mendapatkan kesempatan itu. Direkrut hanya untuk digerus keahlian dan tenaga serta pikiran tanpa diperhatikan kesejahteraan baik dari segi kualitas diri maupun materi adalah lumrah didapatkan sebagian pekerja, karyawan atau pegawai perusahaan.Â
Untuk itu, perlu adanya kerja sama yang baik antara berbagai stakegholder atau pemangku kebijakan dalam membantu karyawan untuk memperoleh hak dalam peningkatan kualitas serta memberikan pelatihan atau pendidikan yang bermutu agar skil atau keahlian karyawan dapat meningkat dan semakin profesional.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kompetensi pegawainya misalnya mengadakan pelatihan dasar komputer dengan lembaga BLK (Balai Pelatihan dan Keterampilan) atau mengadakan trainer bagi para karyawan agar lebih siap di tempatkan dalam bidang-bidang kerja tertentu.
3. Patuh pada sistem dan kemauan atasan
Faktor lain yang menyebabkan bertumbuhnya budaya atau lingkungan kerja toxic yakni kawajiban untuk patuh pada atasan. Perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya otoritas atau kewenangan yang dimiliki pemimpin kerap tak sejalan dengan kemampuan leadership yang baik.Â
Pemimpin kerap seenaknya dalam memperlakukan bawahan atau menerapkan kebijakan tertentu yang pada akhirnya merugikan berbagai pihak termasuk karyawan atau pegawainya.Â
Dalam hal ini, pembatasan kritik serta keengganan untuk menerima saran adalah salah satunya. Hal tersebut diperparah dengan sikap idealisme pemimpin sehingga diskusi, kordinasi, dan komunikasi hanya berlangsung satu arah sementara bawahan hanya bisa bekerja dan menjadi "yes man"Â setiap saat.
4. Minimya profesionalitas kerja
Pada dasarnya sikap profesionalitas adalah hal utama yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Salah satu yang termasuk aspek profesionalitas adalah bekerja sesuai tupoksi dan peran yang diberikan oleh atasan.Â
Dalam dunia kerja, tentu kita kerap diberikan beban kerja yang berbeda-beda sesuai keahlian masing-masing. Saat menerima instruksi, maka tugas kita adalah mengeksekusinya dengan baik agar tujuan perusahaan dapat tercapai.Â
Nah masalahnya, ketika proses itu dilangsungkan. Masukkan dan kritik kerap disampaikan tanpa memperhatikan etika atau perasaan bawahan. Atasan kerap mencemooh, menghina, mengabaikan, menyepelekan, atau bahkan men-judge hasil pekerjaan bawahan di depan umum.
Inilah yang menjadi nilai minus di mana sikap profesionalitas justru tak terbangun dengan baik. Pada akhirnya, mental karyawan akan mudah down, kinerja memburuk, hingga akhirnya hasil yang diharapkan justru semrawut.
5. Beban kerja tidak sesuai
Pernahkah anda mendengar istilah lembur?Â
Lembur kerap dianggap sebagai kegiatan yang berfaedah jika ada reward yang sesuai didapatkan karyawan. Namun, tak semua perusahaan atau lembaga yang memahami akan hal itu.Â
Kerap kali karyawan atau pegawai yang sudah bekerja di luar jam operasional bahkan rela meninggalkan urusan rumah sementara demi selesainya permintaan perusahaan justru tak dihargai dengan baik oleh pimpinan.
Ini menjadi sebuah ironi, di mana beban kerja yang diberikan serta target yang dibebankan justru terlalu berlebihan sementara hak-hak yang harusnya didapatkan oleh karyawan pasca pekerjaan tuntas justru tak diselesaikan.Â
6. Gosip Kerja (Gibah)
Gosip kerja atau gibah adalah hal yang tak bisa dianggap sepele dalam dunia kerja. Acap kali, pembunuhan mental dan karakter karyawan sering dimulai dari kebiasaan ini.Â
Menceritakan hal-hal privasi, mencibir hasil pekerjaan orang lain, serta mendikte kekurangan dan menyebarkannya kepada rekan kerja lain adalah faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya lingkungan kerja toxic.
Maka dari itu, sebagai karyawan dibutuhkan kebijaksanaan diri dalam hal memilih rekan kerja yang pantas untuk dijadikan teman sharing maupun rekan bertukar pikiran agar pada saat bekerja sama hasil yang diharapkan dapat tercapai.
Itulah beberapa ciri atau faktor penyebab tumbuh suburnya budaya lingkungan kerja toxic dalam dunia kerja.Â
Untuk meminimalisasi hal tersebut ada beberapa cara yang bisa dilakukan antara lain belajar membatasi diri, mulai mencari circle kerja yang positif, menjalin hubungan yang baik dengan orang terpercaya, mencari support system di luar lingkungan kantor, meluangkan waktu untuk me time, berani untuk menyampaikan kebenaran dan kritis, dan terakhir resign di waktu yang tepat.
#SalamLiterasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H