Hubungan Kalbu dengan Cahaya
Ketika manusia yang dapat merasakan dan melihat cahaya Allah yang sebenarnya, maka kalbu (hati) nya pasti akan selalu diterangi oleh cahaya-Nya. Dan ketika kalbu tersebut terang akannya, maka ia pasti akan melakukan segala dal positif, salah satunya disebabkan karena ia melihat Allah yang cahaya-Nya terpancar dimana-mana dan ia yakin bahwa tidak ada sumber Cahaya yang lain daripadanya. Hanya Dialah pemilik cahaya yang sebenarnya.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَ اتَّقى . وَ صَدَّقَ بِالحْسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
“Adapun orang-orang yang membelanjakan harta dijalan Allah dan bertakwa kepada-Nya, juga membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kelak Kami (Allah) akan menyiapkan jalan baginya yang mudah,” (Al-Lail : 5-7)
Pada kalbu yang seperti ini akan memancarkan cahaya dari lubang cahaya Ilahiyah. Sehingga tidak tersembunyi lagi pada kalbu dimaksud sikap syirik yang tersamarkan, yang lebih samar lagi dari merangkaknya semut hitam diatas batu hitam pada malam yang sangat gelap. Sehingga pada cahaya yang semacam ini tidak akan tersamarkan oleh sesuatu yang samar dan tidak berlaku lagi sesuatu dari godaan setan terhadapnya. Bahkan, setan akan berdiri dan menyampaikan kata-kata yang mempesona guna penipuan terhadapnya. Akan tetapi, kalbu semacam ini tidak pernah akan terpedaya dan menoleh kepada tipu daya setan dalam bentuk apapun. Kalbu jenis ini telah disucikan dari semua yang membinasakannya, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menjadi semarak dengan hal-hal yang akan menyelamatkan dari kebinasaan, yaitu sabar, rasa syukur, takut kepada Allah, berharap, bersikap zuhud, ridha, rindu, kasih sayang, tawakkal, tafakkur, senantiasa mengoreksi kekeliruan dalam dirinya dan berbagai jenis kebajikan lainnya. Itulah kalbu (hati) yang mengharapkan diri hanya kepada Allah Swt. dengan berharap ridha-Nya. [1]
Ketika ilmu itu adalah cahaya, yang mana ilmu memiliki tempat yang bersemayam di hati, yaitu yang halus, yang mengatur seluruh gerak anggota tubuh. Dan hati halus inilah yang ditaati serta dilayani dari seluruh anggota tubuh. Hati halus yang dikaitkan dengan hakikat-hakikat apa yang diketahui laksana cermin yang dikaitkan dengan segala bentuk objek berwarna. Sebagaimana sesuatu yangberwarna itu mempunyai bentuk, dan contohnya melekat pada cermin serta berhasil dengannya, maka begitu pula setiap pengetahuan yang tersedia mempunyai hakikat. Sedangkan hakikat itu sendiri memiliki bentuk yang melekat pada cermin hati, dan menjadi semakin jelas didalamnya.
Orang alim itu laksana kalbu (hati), dimana contoh hakikat sesuatu dimaksud bersemayam didalamnya. Dan apa yang diketahui adalah ibarat hakikat sesuatu. Adapun ilmu lebih laksana hasilnya yang merupakan contoh dalam cermin. Sebagaimana genggaman misalnya, yang memerlukan subjek pengenggam misalnya tangan dan yang digenggam misalnya pedang, serta hubungan antara pedang dan tangan., dengan hasilnya pedang berada digenggaman tangan yang dinamakan genggaman, maka demikiannlah contoh yang diketahui didalam relung kalbu (hati) yang dinamakan ilmu.[1]
Menurut al-Ghazali, jika cahaya ini membentuk sistem, maka cahaya inderawi menduduki posisi pertama dan menjadi mukaddimah bagi cahaya khayali, begitulah seterusnya sampai pada cahaya kri (pemikiran) dan cahaya akal. Dengan demikian tepat sekali bila “kaca” (semprong) dijadikan tempat bagi pelita (lampu), dan misykat (ceruk) itu sebagai tempat kaca. Jelasnya, pelita itu berada di dalam kaca dan kaca berada di dalam misykat. Jika semua itu dinamakan cahaya-cahaya, dimana cahaya yang satu berada di atas cahaya lainnya, maka itulah yang dimaksudkan dengan ilustrasi Cahaya di atas cahaya.[2]
------------
[1] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama: Keajaiban Kalbu, (Jakarta Selatan: Republika, 2018), 39-40
[2] Al-Ghazali, Cahaya di Atas Cahaya, (Jakarta, 2010), 8