Apa sebenarnya moderasi beragama itu? Seberapa penting konsep itu diterapkan pada masyarakat Indonesia yang multikultural dan kaya akan keberagaman. Sebelum membahas tema tersebut, di sini saya akan mengupas terlebih dahulu apa itu moderasi beragama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi berarti penghindaran kekerasan atau keekstreman. Kata ini mempunyai serapan, moderat yang diartikan sebagai sikap yang selalu menghindari kekerasan atau keekstreman dengan kecenderungan ke arah jalan tengah.
Nah, jika kata moderasi dan beragama disatukan akan menjadi istilah yang berarti suatu sikap yang menghindari segala bentuk kekerasan dan keekstreman dalam praktik beragama. Dalam definisi luasnya yaitu suatu nilai atau unsur dalam ajaran agama yang menghindarkan sikap kekerasan atau ekstrem (radikalisme) dan mencari titik tengahnya dalam upaya mempersatukan seluruh elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbicara tentang radikalisme yang mewabah pada tataran kehidupan beragama di Indonesia, sangat penting untuk kita cermati. Dikarenakan sikap eksklusif seperti itu mempunyai dampak negatif bagi keberagaman dari mulai lingkup kecil sampai ke lingkup besar negara. Hal tersebut ditandai dengan semakin maraknya kasus kekerasan, serangan bom, penghancuran rumah ibadah, konflik antar agama dan bentuk kekerasan lainnya. Fenomena tersebut umumnya dilakukan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab atau kelompok garis keras yang mengatasnamakan agama.Â
Mereka menganggap agama mereka yang paling benar (truth claim). Pandangan mereka sudah bulat dan seakan agama atau kelompok yang lain itu salah atau kafir. Hal tersebut tentunya mengancam keberagaman di Indonesia sendiri. Tidak adanya sikap empati dan toleransi atas perbedaan yang ada dapat memecah belah persatuan bangsa. Untuk itu dengan membuka pintu musyawarah dan ruang dialog adalah sebuah upaya pemecahan suatu masalah secara damai. Sehingga tercapailah kesimpulan yang lebih tepat dan toleran.
Konsep moderasi agama menjadi suatu upaya untuk meredam eksklusifitas dan radikalisme garis keras. Pada kehidupan global sekarang ini, tindakan kekerasan tidak hanya kita temui langsung di sekitar kita. Namun, sudah masuk pada ranah teknologi yang saat ini digunakan oleh kebanyakan manusia. Melalui informasi yang tersebar di sosial media banyak orang terpengaruh dan terdistraksi pada pandangan yang menyimpang. Konten-konten yang mengandung ujaran kebencian, kekerasan, adu domba, pemecah belah semakin massif di jagad media massa.Â
Maka dari itu, semua kalangan masyarakat dari pemerintah sampai penerus estafet bangsa; mahasiswa, yang diharapkan dapat menjadi agen of change harus mengedepankan prinsip moderat dalam berpikir dan berperilaku. Mahasiswa dituntut untuk menjadi garda terdepan dalam memberantas segala hal yang dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai insan yang dituntut untuk berpikir kritis, mahasiswa harus mampu menjadi harapan bagi masa depan negara dan agamanya. Universitas menjadi wadah dan tempat belajar dalam membentuk diri agar nantinya menjadi lulusan yang berakhlak, cerdas, berbudi pekerti luhur, dan bermanfaat bagi orang lain. Kehidupan setelah lulus menjadi tantangan sesungguhnya untuk dapat mengimplementasikan ilmu dan pengalaman yang sudah didapat selama belajar di kampus.Â
Lulusan inilah yang mempunyai peranan yang besar bagi kehidupan masyarakat nantinya. Dikarenakan kehidupan beragama menjadi faktor penting dalam diri setiap manusia. Tidak hanya itu, mahasiswa juga harus ikut andil bersama-sama untuk membangun kehidupan masyarakat yang aman dan tentram. Oleh karena itu, mahasiswa harus dapat memberi contoh dan berperilaku moderat terhadap siapapun. Kasus radikalisme menjadi ancaman serius yang harus dihindarkan demi mencapai kehidupan damai pada masyarakat di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H