Ini maksudnya ingin mendiskusikan umur penulis ya?
Nah, sepertinya kita mulai dulu dari konsumen. Bila bicara tentang buku sebagai produk, maka perlu diserap oleh konsumennya; pembaca. Maka setiap penulis sejak awal sudah menetapkan calon konsumennya. Susu formula saja ditujukan untuk konsumen yang berbeda, ada yang ditujukan untuk bayi, balita, remaja, dewasa bahkan orangtua. Masing-masing dengan kandungan yang berbeda agar dapat dikonsumsi.
Buku juga demikian, dan penulis sejak awal sudah perlu menetapkan umur calon konsumen yang ditujunya. Mengapa demikian? Dalam tulisan kita nanti akan ada; setting, narasi dan dialog. Belum lagi termasuk logika, batas pengetahuan, pengalaman dan pendidikan rata-rata. Semua itu berbeda untuk setiap kelompok umur yang berbeda.
Remaja, usianya sekitar 14 – 18 tahun, mereka pendidikan rata-ratanya SMP dan SMA. Coba berikan kepada mereka tulisan yang settingnya terlalu lengkap dan detil, narasi yang panjang untuk menjelaskan penampilan dari mulai rambut, wajah, baju, celana dan sepatu. Kemungkinan besar mereka akan bosan. Apalagi bila kata-kata yang digunakan dalam dialog justru kata-kata yang kaku. Bahkan narasi saja bisa dianggap kaku oleh remaja. Coba cek bukunya Raditya Dika dan Fidriwida. Dua penulis itu karyanya ditujukan untuk pembaca remaja.
Tetapi narasi yang terlalu pendek-pendek, tidak menjelaskan tentang lokasi adegan pada pembaca dewasa di atas 30 tahun yang suka membaca akan dianggap sebagai cerita untuk anak-anak. Oh ya, tetap saja usia 30 tahun ke atas masih ada batasan lain; suka membaca. Bagi yang tidak terlalu suka membaca, mungkin mereka lebih bisa menikmati bacaan untuk remaja.
Genre pun bergantung pada umur pembaca. Pernah coba bandingkan genre yang sama seperti humor atau bahkan horror, yang ditulis untuk remaja dan untuk dewasa akan memiliki rasa yang berbeda ketika dibaca. Nah, jadi bukan berarti genre tertentu untuk umur tertentu.
Tapi itu berarti umur calon pembaca harus sama dengan umur penulis, agar dapat mendekati gaya tulisan yang diinginkan pembaca? Tidak juga. Coba baca buku-buku Sefryana Khairil. Sebagian besar tentang orang-orang berusia di atas 30 tahun dan sudah atau pernah menikah. Padahal itu sama sekali berbeda dengan kondisinya si penulis saat menuliskan buku-buku itu.
Ya, kita semua tahu, semakin banyak buku yang dibaca maka semakin banyak contoh untuk ditiru saat kita menuliskan buku yang sesuai keinginan kita. Tapi ada masalah lain yang akan dihadapi penulis. Gaya si penulis sendiri.
Betul sekali! Penulis tertentu seringkali tidak mampu menuliskan cerita untuk usia yang dia ingin tuju. Misal, penulis ingin menulis untuk remaja, tetapi dia menggunakan bahasa yang kaku. Atau bisa jadi, penulis ringan seklai bila harus menulis kisah remaja, walaupun dirinya tidak remaja lagi. Tetapi penulis yang sama, mengalami kerepotan bila harus menuliskan cerita untuk calon pembaca seumurnya.
Bahasa lebih resmi, tidak menggunakan bahasa percakapan pada narasi / deskripsi, pemakaian istilah-istilah yang sesuai dengan kaidah bahasa, kurang mampu dia ikuti. Bagi pembaca remaja, bahasa seperti ini dikatakan kaku. Coba lihat buku-bukunya Sitta Karina, Ika Natassa. Bahasa mereka mengalir cukup lancar tanpa banyak menggunakan kata-kata yang sering digunakan remaja. Tapi para pembaca remaja, pasti akan mengatakan bahasa mereka kaku.
Maka, bahasa sangat berkaitan dengan umur, bukan dengan genre, dan sebagai penulis perlu mewaspadai ini. Silakan saja mencoba menulis untuk calon pembaca di umur tertentu, tetapi jangan terlalu memaksakan diri. Karena, setiap penulis akan memiliki gaya menulisnya sendiri, dan gaya tertentu hanya cocok dengan calon pembaca tertentu, di usia tertentu.