Di tempat itu tampak kamu sedang duduk diam, sangat fokus dengan sebuah buku di tangan. Aku ingin mendekat padamu, mencairkan kaku kita yang telah lama tak bersapa. Tapi, aku tahu tentang payahku dengan kata pertama dan tak pernah pintar mencari bahan cerita. Maka maaf disini aku masih diam sendiri, mentapmu lamat-lamat dari teropong yang kumiliki. Ya, aku hanya bisa mengintipmu dari jauh, dari sebuah titik yang tak mungkin kamu bayangkan jika aku ada disitu.
Kamu membuka halaman selanjutnya dari buku itu, lembar tipis yang didalamnya berangkai kata dan bercerita. Seketika itu aku ingin ada di depanmu, menutup halaman buku dan menceritakanmu satu kisah. Kau tahu apa yang kupikirkan tiap kali melihatmu? Imajiku langsung tertuju pada sosok berbibir hitam dan bertopi lancip. Aku ingin menjadi penyihir, dimana ketika kesal aku bisa seenaknya merubah apapun, semisal pohon pisang menjadi tanaman wortel, atau gajah menjadi hamster. Lucu bukan? Tapi apa kamu tahu jika aku menyihirmu maka kau akan berubah menjadi apa?
Jadi, apa kamu mau mendengarku bercerita tentang penyihir itu?
Jika bisa aku ingin menyihirmu menjadi Hantu. Kenapa hantu? Karena kau kurubah dalam bentuk yang paling kutakuti, maka aku pasti bisa melupakanmu.
Kulihat kau menguap, sepertinya kau mulai lelah. Dan benar buku yang kau baca akhirnya kau tutup. Dari teropong itu juga kulihat kau berjalan memasuki kamarmu dan meninggalkan teras yang sebelumnya kau ijinkan menjadi ‘ruangmu’. Lalu kulihat kamarmu menggelap, bayangmu hilang dari teropongku.
Lelap itu pun ternyata datang juga padaku. Di malam yang sunyi seperti kemarin ini aku hanya mampu merampal doa jika aku tak lagi mencuri kabarmu seperti malam ini. Jika kau tahu dan menyadari keberadaanku ini pastilah bertanya kenapa? Ternyata aku tak secanggih apa yang kukira, namamu masih terngiang jelas tanpa banyak jeda selain dua spasi itu. Aku masih merindumu dalam kecanggunganku yang tak henti menahan diri agar tetap jauh darimu, seperti malam ini.
Kututup teropong yang sesaat sebelumnya menampilkan wajah dan gerakmu. Lalu dengan lelah yang datang akhirnya aku pun memilih apa yang sama sepertimu, tidur.
Dan, ah ya. Apa kau penasaran dari mana aku meneropongmu? Dari Bulan sayang, sesuatu yang sering kukatakan jika seterang apapun purnama yang datang, indahnya takan melampauimu, selalu tenggelam dibalik wajahmu.
Dan tentang bulan dimana aku berada. Hanya jarak 384,404 Km yang bisa kutempuh untuk merasa jauh darimu. Padahal aku ingin bisa sejauh mungkin dari bumi, semisal aku keluar dari Bima Sakti dan mendarat di Andromeda. Dengan jarak 2 Milyar tahun cahaya kurasa cukup untuk membuatku yakin jika kau takan mungkin lagi kuingat.
Tapi, sepatah kata bijak selalu berkeliar kembali –jarak bukan tentang lupa dan ingat, hanya tentang pertautan. Dan kamu lebih dari semua pertautan yang ada, melebihi ruang, waktu, dan jarak. Maka aku masih coba mencuri kabarmu dengan teropong yang kumiliki, walau tak selalu jelas gambaranmu. Atau lebih khusus dari segalanya –apakah kau masih mengingatku seperti aku saat ini?
Aku tidur dalam rasa lelap yang kurasa tak sama denganmu. Seperti yang pernah kutulis disatu jejaringku tentang caffein. Ya, kamu seperti caffein, tak pernah membuatku tidur lelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H