Suara dinamo berdesing memenuhi ruangan. Sebuah jarum merajam kulit ari di tangan memaksa tinta merah masuk ke dalam kulit. Pringgo (33) meringis sembari menahan perih. Darah segar mengucur bercampur dengan tinta merah di sepanjang garis di mana jarum merajam.
Dengan teliti, Hudha menindih sketsa yang sudah dibuat sebelumnya dengan rajah tubuh permanen. Dan pada rajah tubuh itu lah tersimpan ingatan yang kelak akan menjadi kenangan di masa depan.
Hudha menyeka campuran darah dan tinta lalu kembali merajam kulit. Selesai dengan satu gambar, ia berpindah pada gambar selanjutnya. Pringgo masih saja meringis, tapi menikmati ketika jarum menusuk kulit. Saya pun meringis sambil membayangkan rasa perihnya, lalu tersenyum ketika melihat gambar tato tersebut.
Budaya Tato
Kata tato sendiri disinyalir berasal dari kata tatau dalam bahasa Tahiti. Budaya menorehkan rajah di tubuh ini sudah berkembang sangat lama dan telah berkembang ke seluruh penjuru dunia.
Menurut Ady Rosa (48), dosen Seni Rupa dari Negeri Padang, Sumatra Barat, tradisi tato tertua di dunia dimiliki oleh orang Mentawai. Bahkan lebih tua dari tato Mesir yang ditemukan pada tubuh mumi dari abad ke 20SM.
Setiap daerah memaknai tato sebagai identitas jati diri. Sebuah tato bisa digunakan untuk membedakan status atau profesi seseorang. Tato juga bisa sebagai media untuk merekam cerita yang tak ingin mereka lupakan. Mirip seperti tato milik Pringgo.
Stigma Tato
Tato selalu diidentikkan dengan para pelaku kejahatan. Stigma negatif ini berkembang bukan tanpa alasan. Banyak dari para pelaku kriminal menghiasi tubuhnya dengan tato. Setidaknya itu lah gambaran yang kerap dipertontonkan dalam berita kriminal di televisi.