Siluet piramida membesar seiring laju bus yang kian dekat. Suara Karim, pemandu kami, kini hanya seperti angin lalu. Tak ada yang menghiraukannya. Tak ada pula yang cekikikan geli karena pelafalan bahasa Indonesianya yang terdengar lucu di telinga kami. Pandangan semua orang kini fokus pada bayangan di luar jendela. Semua terpana, tak terkecuali saya.
Begitu bus berhenti, Karim langsung menuju loket dan menebus tiket untuk kami semua. Ia kemudian membagikan tiket ke semua orang. Satu persatu kami menyerahkan tiket kepada penjaga  lalu masuk ke area piramida setelah melalui alat pemindai. Karena sibuk mengambil video, saya bersama Ucil dan Galih tertinggal oleh rombongan yang sudah masuk lebih dulu. Layaknya karnaval, deretan unta dan kuda dengan segala aksesoris yang melekat padanya menarik perhatian. Selanjutnya bisa ditebak. Kami bertiga mengambil jalur sisi kiri piramida alih-alih sisi kanan seperti rombongan untuk mengambil gambar unta dan kuda berlatar piramida.
Di ujung jalan, seseorang dengan syal hijau yang serasi dengan warna baju gamisnya berjalan ke arah kami. Seekor unta dengan pelana dan kain warna berpola yang menghias punggungnya berjalan di belakangnya. Salah satu tangannya menarik tali kekang unta tersebut. Ia berbicara dengan seorang tunarungu yang sedari tadi mengikuti kami. Mereka berbicara menggunakan sebuah bahasa isyarat yang kami tidak mengerti. Entah apa yang mereka rencanakan, tapi saya merasa tidak suka.
Lalu si empunya unta berjalan menghampiri kami. Dengan ramah ia menawari kami untuk naik unta miliknya. Saya menolaknya karena memang tidak tertarik untuk naik unta. "Saya tidak punya uang," sergah saya. Dengan senyum tipis dia meyakinkan bahwa semua ini gratis. Tak perlu membayarnya sepeser pun.
Tak cukup hanya berdiri di samping untanya, kini dia meminta saya untuk menaikki unta miliknya. Dia menarik tali kekang ke bawah dan unta tersebut langsung duduk di samping saya. Saya bersikeras menolak. Tapi dia tetap memaksa dan meyakinkan kalau unta tersebut aman. Akhirnya saya menyerah dan mengikuti kemauannya setelah menitipkan kamera kepada Galih.
Dengan satu hentakan pada tali kekangnya, unta tersebut langsung berdiri. Saya sedikit kaget dan dengan segera berpegangan erat pada punuknya. Rasanya sangat berbeda dengan naik kuda. Â Dudukan terasa tidak mantap. Badan saya seperti condong ke belakang. Unta bergerak ke kanan dan ke kiri seperti berada di atas kapal yang terkena ombak. Rasa was-was menyelimuti. Mungkin karena itu adalah pengalaman pertama saya naik unta sehingga saya berpikir bahwa naik kuda terlihat lebih aman dan nyaman. Atau entah karena saya tidak percaya sepenuhnya kepada si pemilik unta.
"Sekarang berikan uang Dollar atau China (Yuan) milikmu!" seru pemilik unta dalam bahasa Inggris kepada saya. Dengan suara keras, si pemilik unta memaksa saya membayarnya dengan sejumlah uang Dollar atau Yuan. Alasannya karena saya sudah naik untanya serta mengambil foto unta miliknya. Padahal, awalnya dia menawari saya untuk naik untanya secara gratis. Bahkan dengan ramahnya dia mendandani saya menggunakan syal miliknya agar terlihat seperti orang lokal. Keramahan tersebut berbalik seratus delapan puluh derajat setelah saya turun dari untanya. Kini ia menengadahkan tangannya di hadapan saya meminta sejumlah uang.
Saya tentu saja menolak dan mengatakan bahwa saya tidak mempunyai uang Dollar dan Yuan seperti yang dia minta. Lagi pula memang saya tidak membawa dua mata uang tersebut. Kami meninggalkannya, tapi dia mengikuti dan ngotot meminta uang Yuan atau Dollar. Saya pun kesal. Akhirnya selembar uang lima puluh ribu rupiah saya berikan padanya. Dengan wajah bingung ia menerima dan bertanya ini uang dari mana. "Ini uang Indonesia," terang saya. "Uang Indonesia tidak laku," umpatnya dalam bahasa Inggris. Kami pun pergi dan meninggalkannya terpaku melihat uang lima puluh ribu rupiah di tangan.