Warna keceriaan terpancar di raut wajah anak-anak manakala mereka memasuki areal Konservasi Penyu Sindu Dwarawati di Pantai Sindu, Sanur, Bali. "Hari ini mereka akan melepas tukik di pantai," tutur Bu Ike kepada saya. Hal ini sesuai dengan tema summer camp yang diangkat oleh lembaga pendidikan non-formal My After School Club miliknya. Sebelumnya anak-anak belajar mengenai betapa pentingnya menjaga kelestarian alam serta binatang dan pada hari ini mereka diberi kesempatan secara langsung untuk mengenal salah satu binatang yang sedang terancam populasinya, penyu.
Lima buah bak memadati sebuah areal konservasi penyu Sindu Dwarawati yang terletak di tak jauh dari bibir Pantai Sindu, Sanur, Bali. Dua bak di sebelah kanan berisi puluhan tukik berwarna hitam legam. Ukurannya tak lebih dari sekepalan tangan anak kecil. Tukik-tukik tersebut masih sangat muda. Baru satu setengah bulan lalu mereka keluar dari cangkang telur yang telah mengurungnya selama kurang lebih 40-65 hari di dalam pasir. Kini mereka bebas berenang di dalam bak dan menunggu untuk dilepaskan kembali ke habitat aslinya.
Tiga bak lainnya berisi penyu lekang dan penyu hijau yang sudah cukup dewasa. Hanya ada dua sampai tiga penyu untuk setiap bak. Terlalu banyak penyu dewasa dalam satu bak akan membuat penyu tersebut tidak bisa bergerak bebas. Salah satu penyu bahkan berukuran sangat besar dan diperkirakan berumur hingga 30 tahun. Penyu memang disinyalir bisa hidup puluhan hingga ratusan tahun di habitat aslinya.Â
Bli Wardana menjelaskan secara singkat bagaimana dia mengawali konservasi penyu yang sudah berdiri sejak tahun 2012 ini. Semua berawal dari ketertarikannya dengan teman-temannya saat menemukan penyu yang sedang bertelur di pinggir Pantai Sindu. Karena mereka mengetahui bahwa populasi penyu semakin berkurang  serta maraknya penjarahan telur penyu oleh manusia, mereka akhirnya memutuskan untuk menjaga agar telur-telur penyu tersebut tidak dicuri dan bisa menetas.Â
"Awalnya hanya bermodalkan empat ember," ujar Bli Wardana. Empat ember tersebut digunakan untuk menampung telur-telur penyu yang sebelumnya dikubur di dalam pasir oleh induk penyu. Melihat konsistensi mereka, masyarakat sekitar kemudian ikut memberikan bantuan berupa bak yang digunakan untuk menampung tukik-tukik yang sudah menetas. Tukik-tukik tersebut dipelihara selama satu hingga dua bulan sebelum dikembalikan ke lautan lepas. Tukik berumur sekitar dua bulan dianggap sudah cukup kuat dan tangkas menghadapi para predator alami seperti burung, kepiting dan binatang laut lainnya. Sehingga persentase mereka bertahan hidup menjadi lebih besar dibanding jika mereka dilepaskan ke laut segera setelah menetas.
"Semua tukik yang menetas di sini adalah jenis Penyu Abu/Lekang (Lepidochelys olivacea)," ujar Bli Wardana. Penyu Lekang adalah satu dari 6 spesies penyu yang bisa ditemukan di Indonesia. Populasinya dari tahun ke tahun cenderung menurun. Berbagai faktor turut menjadi penyebab penyusutan jumlah populasinya. Â
Faktor alam seperti naiknya ketinggian air laut yang menyebabkan pesisir kian berkurang menjadi salah satu alasan penyu tidak bisa menemukan pantai untuk mengubur telurnya. Gaya hidup manusia yang suka membangun tempat tinggal di daerah pesisir juga membuat penyu enggan mampir ke pantai. Faktor lainnya  adaalah campur tangan manusia yang suka memburu telur dan dagingnya untuk konsumsi karena dipercaya bisa menyembuhkan penyakit tertentu. Padahal fakta berkata sebaliknya. Menurut informasi yang saya baca di situs mongabay.co.id, kandungan senyawa POPs dalam telur penyu bisa membuat kelumpuhan bahkan hingga kanker. Tingginya kolesterol dalam telur penyu juga bisa menyebabkan berbagai penyakit serius.
Sampah plastik yang dibuang di laut juga turut bertanggung jawab atas menyusutnya populasi penyu. Mereka kerap kali salah melihat sampah sebagai ubur-ubur yang merupakan makanan penyu. Banyak penyu yang mati karena kedapatan menelan plastik sampah yang mengapung di lautan. Kepedulian dan kesadaran untuk tidak membuang sampah secara sembarangan memang masih minim di manapun, tak terkecuali di Indonesia. Di artikel Resik Kali Njogo Bumi saya sudah pernah memaparkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar kedua di dunia sebagai penghasil sampah.
Kini tiba saatnya untuk anak-anak melepaskan penyu di pantai. Bli Wardana membagikan mangkuk stereofoam kepada anak-anak. Bu Ike kembali memperingatkan anak-anak untuk tidak memegang penyu tersebut menggunakan tangan agar tidak menciderai atau menularkan kuman yang mungkin ada di tangan.
Sorak sorai anak-anak riuh di bibir pantai. Para pengunjung di sekitar pantai kini berbondong mendekat. Ikut menyaksikan anak-anak melepaskan penyu. Anak-anak pun menyemangati penyu mereka, beranggapan sedang berlomba agar penyunya bisa menyentuh air lebih cepat dari yang lainnya.
Kini penyu-penyu tersebut sudah menghilang dijemput ombak setelah sebelumnya merangkak di atas pasir pantai. Ujian sebenarnya untuk para penyu sudah dimulai. Mereka harus bertahan hidup serta menjelajah separuh bumi sebelum kembali ke pantai yang sama untuk berkembang biak setelah beberapa tahun. Di saat yang sama, senyum puas mengembang dari pada pengajar dan pendamping mereka, terlebih Bu Ike. Harapannya, anak-anak akan lebih peduli kepada lingkungan dan mencintai binatang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H