Tahun 2023 lalu jagat media sosial pernah heboh gara-gara kasus dispensasi nikah di kalangan anak sekolah, tepatnya di Ponorogo dan Indramayu . Sementara itu, menjelang akhir 2024 ini, salah satu pasangan public figure dibanjiri komentar nitizen karena dianggap menormalisasi pernikahan anak. Apa benar? Ya mungkin ada benarnya.Â
     Lepas dari kasus pernikahan dini oleh public figure tersebut, angka pernikahan dini di Indonesia memang masih tinggi.      Berdasarkan data BPS selama satu dekade terakhir, angka perkawinan di bawah umur terus terjadi. Setiap tahun terjadi perkawinan usia anak di Indonesia sekitar 10,5 persen. Selain itu, berdasarkan data Unicef 2023, peringkat Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar. Wooow, ngeri-ngeri sedap ya!Â
PADAHALL! Pemerintah melalui Undang-Undang Perkawinan Tahun 2019 menaikkan batas minimal pernikahan menjadi 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan. Tapi...ya, itu tidak signifikan menurunkan angka pernikahan anak. Peraturan ini pun masih memiliki celah karena masih ada "dispensasi" nikah yang bisa diajukan jika alasan pernikahan dirasa urgen, seperti pasangan sudah KAWIN duluan sebelum menikah secara sah, factor ekonomi, dan kerap kali alasan untuk menghindari ZINA juga menjadi tameng untuk menormalisasi fenomena ini. Kalau alasan dinikahkan hanya untuk menghindari zina, berarti pernikahan hanya berorientasi pada masalah seksualitas saja? Tidak dong harusnya. Dari sini kita bisa menyimpulkan, sebenarnya pemerintah tetap tidak bisa bekerja sendiri. Perlu keikutsertaan keluarga, institusi pendidikan, dan lingkungan sosial yang sama-sama memberikan edukasi yang matang terkait pernikahan di usia anak.
Mengapa Usia Pernikahan Harus Dipertimbangkan dengan Matang?
Girls who marry before 18 are more likely to experience domestic violence and less likely to remain in school-UnicefÂ
Kekerasan dalam rumah tangga
Ketidakstabilan emosi pada usia remaja masih sering terjadi karena pada usia ini mereka masih dalam proses pencarian jati diri menuju tahap dewasa. Kekerasan dalam rumah tangga sangat mungkin terjadi pada pernikahan di usia anak. Berbagai masalah kompleks sebagai keluarga mulai dari mengurus anak, komunikasi yang dewasa dengan pasangan, serta kebutuhan dan tuntutan lainnya ketika menjadi orang tua memerlukan kemapanan emosi. Sehingga, jika umur pernikahan anak belum memenuhi kemapanan emosi akan berpotensi besar menciptakan stres pernikahan yang berujung pada keputusan pendek yakni kekerasan dalam rumah tangga. Ngeri ya? Makannya kita main yang jauh dulu di usia remaja ini, belajar juga jangan lupa biar nggak kayak bocah waktu berumah tangga
Data kekerasan dan kasus KDRT oleh Komnas Perempuan pada 2021
Kondisi ekonomi belum stabil
Usia masih 18/19 tahun, pendidikan terakhir SMA (mungkin), kebutuhan rumah tangga yang serba mahal, belum financial stable, terus harus sudah bisa memenuhi tetek bengek rumah tangga? SUSAH! Ya mungkin beberapa orang punya previlage finansial, misal keluarganya seorang pengusaha dan si anak tinggal meneruskan usaha tersebut. Kalau seperti itu memang gampang. Tapi tidak semua pelaku pernikahan di usia anak punya latar belakang yang mapan. Beberapa orang tua malah menikahkan anak di usia dini agar terbebas dari tanggung jawab finansial. Fenomena ini marak terjadi saat pandemic covid-19 (2020) silam.
Ketidakstabilan ekonomi ini bisa berakhir pada kekerasa ekonomi juga loh! Data kekerasan dan kasus KDRT oleh Komnas Perempuan pada 2021 menunjukkan bentuk KDRT kekerasan ekonomi berjumlah 680 kasus!
Masalah Kesehatan dan pendidikan
Berumah tangga adalah perjalanan yang panjang, jika kita (masih di usia yg belum matang) sudah disibukkan dengan tuntutan memenuhi kebutuhan rumah tangga yang seabrek itu. Masih yakin bisa mengutamakan pendidikan? Atau kesehatan? Apalagi kalau tidak punya latar belakang keluarga yang mapan! Kalau untuk kebutuhan dasar saja masih ngos-ngosan apa lagi kebutuhan yang lebih besar? Padahal pendidikan dan kesehatan sama pentingnya.
Perkawinan anak berdampak buruk juga pada kualitas sumber daya manusia Indonesia. Yang memaksa anak putus sekolah dan menjadi pengangguran sehingga menghambat program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah (Malia, dkk., 2023)
Belum lagi masalah Kesehatan ibu dan anak. Menurut spesialis obstetri dan ginekologi dr Thomas Chayadi, SpOG, belum matangnya usia sang ibu ketika hamil, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Perempuan yang hamil di usia 18/19 tahun sejatinya masih dalam proses pertumbuhan, tapi dengan kondisi hamil dia perlu membagi nutrisi dengan janin yang dikandung. Masalah ini bisa lebih lebar lagi kalau merembet ke masalah, stunting, gizi buruk, dst.
Jangan FOMO!
Media sosial sebagai dunia kedua kita saat ini, ngeri sekali jika kita tidak bisa selektif dengan berbagai informasi yang ada. Menelan dan meniru apa yang dilihat tanpa pertimbangan yang matang hanya membuat kita terjerumus pada keadaan-keaadaan yang tidak menguntungkan (konyol). Misal, kita melihat banyak public figure yang hidupnya terlihat bahagia meskipun menikah muda. Lalu karena FOMO kita ikut-ikutan menikah muda, tanpa sadar bahwa kita tidak memiliki back up finansial yang mapan, pengetahuan dan emosional juga masih serba cetek. Nggak semua keputusan public figure menjadi dasar keputusan kita juga! Jadi, kita harus lebih cerdas mengukur diri. Jangan sampai gak tau diri  termasuk untuk keputusan menikah. Setidaknya kitab isa mencegah diri kita dan orang-orang terdekat kita untuk tidak menikah di usia anak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H