Philipus Joko Pinurbo atau yang akrab disapa Jokpin adalah penyair terkemuka kelahiran 1962 . Jokpin menekuni kegemaran menulisnya sejak duduk di bangku SMA. Tak heran, ia mampu menyajikan citraan unik dan kuat dalam puisi-puisinya. Puisi berjudul Ranjang Ibu contohnya, meskipun singkat puisi ini cukup menohok dan mampu mewakili situasi budaya yang terbangun di masyarakat kita saat itu. Apakah perempuan dicitrakan sebagai gender sekunder ? Dan simbol ke"gagah" an laki-laki sangat ditonjolkan? Aspek tersebut mungkin saja raberpengaruh pada dua sudut pandang yakni konvensi sastra dan budaya. Konvensi yang berarti pemufakatan ini akan mengarahkan pemikiran kita untuk membuat pemaknaan terhadap kata "ranjang" "derak" dan "ibu" dalam puisi yang dimaksud.Â
Ranjang Ibu
Oleh: Joko Pinurbo
Ia gemetar naik ke ranjang
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
Analisis Penulis
Menukil dari buku Sastra dan Ilmu Sastra karangan A Teeuw (2015), terlepas dari konvensi sastra dan budaya kita memiliki internalized grammar of poetry atau tata puisi yang dicernakan oleh pembaca. Sejak puisi selesai ditulis oleh pengarang, pembaca bebas menafsirkan makna dalam puisi sehingga bisa jadi cukup subjektif.Â
Dalam puisi Ranjang Ibu, kata "ibu" menawarkan pemaknaan sebagai objek hubungan seksual. Meskipun tidak secara jelas dinarasikan dalam puisi. "Ranjang" mempunyai konotasi yang berbeda dengan "tempat tidur". Dalam budaya kita "ranjang" adalah tempat yang sakral.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H