Awal tahun ini, sekitar 17 Januari 2023 media dihebohkan dengan berita dispensasi nikah kurang lebih 191 siswa di Ponorogo. Tak jauh setelah itu berita 572 anak di Indramayu yang mengajukan dispensasi nikah juga beredar. Hal ini jelas menjadi sorotan publik.
Ada yang bilang "ini sih kado tahun baru" atau "Kebobolan sih gak pakek pengaman!" Well,  mendengar kata "siswa" banyak yang mengira anak-anak yang telibat dalam fenomena tersebut  terjerumus pada pergaulan bebas ketika masih berstatus menjadi siswa.Â
Namun, dilansir dari detik.com berdasarkan penjelasan Dinas Pendidikan Ponorogo Nurhadi Nahuri, "Tidak semua pemohon dispensasi masih berstatus pelajar, sebagian sudah lulus setingkat sekolah menengah atas," "Yang benar adalah lulusan SMP yang sudah tidak melanjutkan sekolah dan meminta dispensasi karena usianya belum mencapai 19 tahun sebagai syarat menikah,'' tutur Nurhadi lagi.Â
Sementara di Indramayu dispensasi nikah itu terhitung sepanjang 2022 dan telah mengalami penurunan dari tahun 2020 dan 2021 meskipun angka dispensasi masih tinggi. Jadi bukan serta merta terjadi di awal tahun, hanya saja mulai diberitakan kembali karena berita sebelumnya ramai.
BPS mencatat terdapat sebanyak 1.74 juta pernikahan diri di sepanjang 2021. Dan jumlah tersebut menuruk sebanyak 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,79 juta pernikahan dini. Meski begitu garis besarnya masih sama. Angka pernikahan dini di Indonesia cenderung tinggi sekalipun prosentasenya turun.Â
Bergeser sedikit dari fenomena dispensasi nikah di Ponorogo dan Indramayu. Sadar atau tidak pelaku pernikahan dini ini masih sering dikaitkan dengan pergaulan bebas yang seolah-olah membebankan kesalahan tersebut hanya pada pelakunya.Â
Padahal  sex educationnya juga belum konsisten. Belum ada ekosistem atau lingkungan yang cukup baik dalam memberi informasi seputar sex dan relationship yang sehat dan matang.Â
Ya, memang sudah banyak akun media sosial yang membahas seputar edukasi dan kesehatan sex seperti tabu.id, catwomanizer, jennyjusuf, dan zoyaamirin misalnya.Â
Semua orang juga bisa mengakses informasi tersebut, tapi tidak semua orang mau. Terutama bagi mereka yang memiliki akses pendidikan rendah, itu hal pertama.Â
Kedua, bukan hal baru bahwa kemajuan teknologi sesekali bisa menjadi bumerang. Di samping akun-akun media sosial yang memberi edukasi dengan baik. Terdapat platform atau media lain yang lebih besar menyajikan cerita yang tidak mendukung hal tersebut. Media film misalnya, dengan produk film-film romantis remaja.
Tentu tidak semua film romantis remaja di Indonesia buruk. Tapi beberapa film seperti Little Mom yang menceritakan seorang anak SMA harus mengalami goncangan mental karena kehamilan yang dia alami.Â
Film ini  telah ditonton lebih dari 11 juta baik di dalam negeri maupun luar negeri. Selanjutnya ada sinetron Dari Jendela SMP, menceritakan gadis SMP yang mengira dirinya hamil dan masalah dalam sinetron tersebut terlalu berlarut-larut sampai menimbulkan kesalahpahaman, terdapat beberapa bagian dimana kedua tokoh utama dibuat menerima keadaan tersebut dan seolah akan menjalani kehidupan bersama. Selanjutnya, film terbaru berjudul Argantara.Â
Film ini tidak jauh beda dengan Little Mom ataupun Jendela SMP. Argantara menceritakan tentang perjodohan yang mau tidak mau harus dilakukan kedua tokoh utama di usia SMA.Â
Sebagai remaja mereka menunjukkan penolakan secara emosional dengan pernikahan dini tapi lagi-lagi hal itu dikemas sebagai proses perjalanan cinta yang penuh perjuangan (meromantisasi). Sejenis perngorbanan untuk menuju cinta yang sejati dan indah, mungkin begitu. Review menarik film Argantara bisa klik di sini.
Setidaknya 3 film di atas memiliki pola yang sama dalam meromantisasi pernikahan dini. TDengan jangkauan penonton ratusan ribu sampai jutaan. Target penonton usia 15-19 tahunan.Â
Tidak semua penonton di usia tersebut mampu memfilter informasi yang ia terima. Sehingga film seperti itu mampu memberi motivasi yang cukup bagi  ribuan remaja untuk melakukan hal serupa. Dimana dengan usia yang belum matang mereka mengadaptasi romantisasi hubungan percintaan dan mengabaikan kesiapan emosional maupun fisik.Â
Cukup bingung untuk memutuskan apakah film-film ini yang terinspirasi dari fenomena pernikahan dini atau pernikahan dini yang dialami anak muda kita yang terinspirasi dari film-film tersebut. Tapi ketika fil tersebut hadir di tengah masyarakat maka sedikit banyak akan membawa pengaruh. Sehingga paling tidak film Indonesia harus lebih peka dengan isu yang ada di sekitar.
Pernikahan dini tidak hanya disebabkan oleh ketidakmampuan anak dalam memfilter pergaulan atau minimnya pengetahuan tentang sex dan relationship yang sehat dan aman.Â
Lingkungan di sekitarnya akan turut memengaruhi, entah itu budaya yang menganggap lebih baik nikah daripada pacaran, argumen bahwa kodrat perempuan hanya 3 M (macak, manak, masak), atau hal-hal di sekitarnya yang secara tidak langsung meromantisasi pernikahan dini termasuk dalam hal ini film atau bahkan banyak media digital lainnya yang sejenis.Â
Artinya untuk menekan angka pernikahan dini bukan hanya anak yang harus diedukasi, orang tua, guru, public figure, dan seluruh komponen masyarakat harus bersinergi dalam mengaplikasikan edukasi tersebut baik secara langsung maupun tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H