Mohon tunggu...
Astriana
Astriana Mohon Tunggu... Freelancer - Pengarang

Review, sastra, diktat kuliah, mental health

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Viral Lagu "Welcome To Indonesia" Sindir Herd Stupidity Warga +62?

3 Juli 2021   13:31 Diperbarui: 3 Juli 2021   13:34 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tik tok kembali menjadi wadah untuk menyampaikan pendapat baik pujian maupun kritik-kritik pedas. Akhir-akhir ini lagu "Welcom to Indonesia" dengan banyak variasi lirik kerap bermunculan di media sosial. Mulai dari sindiran tentang UU ITE, perampasan lahan tani, merosotnya toleransi, demokrasi menjadi democrazy, dsb. Namun, kali ini kita akan membahas tentang Herd Stupidty yang saya kira menjadi garis besar dari sekian banyak sindiran yang seliweran di dunia maya tersebut. Tapi, sebelumnya saya mengklaim artikel ini bukan untuk merendahkan Indonesia, I was born here and I am grateful for that, jadi simak sampai akhir!

Welcome to Indonesia, Have A Look A Round, Herd Stupidity Is The Culture Of The Town....

Penggalan lirik di atas dipublikasikan oleh akun Tik Tok @ichariesa__ dalam vidio berdurasi 29 detik itu @ichariesa__ menjadikan Herd Stupidity sebagai ide pokok dalam lagunya. Lalu apakah sebenarnya herd stupidity? Dan Bagaimana herd stupidty masuk sebagai budaya?

Apa itu Herd Stupidity?

 Dikutip dari urbandictonary, herd stupidity dapat diartikan  tindakan sekelompok orang yang terlalu bodoh dan tidak menyadari bahwa mereka bodoh. Dalam hal ini sekelompok orang tersebut berusaha mengusir orang-orang yang sebenarnya lebih unggul secara intelektual. Kita bisa menyebutnya sebagai kebodohan komunal sehingga alih-alih benar dengan pendapatnya, orang-orang dalam herd stupidity lebih terkesan keminter (merasa pandai). 

Dalam konteks Indonesia saat ini herd stupidity terlihat dari lonjakan kasus covid-19. Banyak masyarakat yang menggampangkan virus tersebut. Mereka kerap mempercayai teori konspirasi dan hoax dari mulut ke mulut daripada informasi resmi dari kementrian kesehatan atau dokter. Alhasil pengabaian pada protocol kesehatan dan takut untuk divaksin menyebabkan lonjakan kasus pada gelombang kedua ini. "Covid itu tidak ada" demikian kalimat mulai sering saya dengar dan lihat. Anak-anak muda mulai memenuhi caf dan nongkrong-nongkrong dengan alasan bosen di rumah, ibu-ibu berbelanja ke pasar tanpa memakai masker, vaksin berbayar diprotes vaksin gratis tidak mau ikut dengan alasan "habis vaksin malah kena covid," dsb. Pernah juga saya mendengar, "Kalau sakit jangan ke rumah sakit, nanti batuk sedikit dikira covid," ini masih bisa ditoleransi, artinya jaga imun, istirahat cukup, jaga makan, terapkan protocol kesehatan jadi tidak sampai ke rumah sakit. Betul kan?

Bagaimana Herd Stupidity menjadi budaya?

Tingkat kekhawatiran masyarakat kita terbilang tinggi. Saya pernah membaca di buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring, dalam survey khawatir nasional yang dilakukannya selama seminggu dengan rentang waktu 11-18 November 2017. Dengan jumlah 3.634 responden, sebanyak 63% menyakatan lumayan khawatir/sangat khawatir tentang hidup secara umum. Kalau dikira-kira , di tahun 2021 dengan kasus covid yang tidak kunjung selesai mungkin prosentase tersebut meningkat. Sayangnya kekhawatiran masyarakat kita tidak diimbangi dengan pengetahuan yang logis.

Follow up dari kekhawatiran yang ada sebagian besar adalah cuitan dan komentar yang bersifat memprotes bukan saran atau masukan. Selain itu, ketika kekhawatiran mulai mencapai tingkat panik kita mulai menyalahkan orang lain dan melakukan sesuatu dengan gegabah.  Contohnya, panic buying masyarakat pada obat covid yang sebenarnya adalah vitamin sehingga stok rumah sakit yang notabennya untuk pasien yang lebih membutuhkan habis.

Selain faktor kekhawatiran ada juga faktor ketidakpedulian turut memberi nyawa pada fenomena herd stupidity. Dari sudut pandang saya. Masyarakat kita memang memiliki tingkat literasi rendah dan seenaknya sendiri. Patokannya tidak usah susah-susah. Dalam sehari, bandingkan berapa jam yang habis untuk main sosmed dibanding membaca buku/artikel? Dan ketika membuka youtube mana yang lebih kita pilih, konten prank mantan dan vidio artis yang review barang mahal atau berita politik dan podcast inspiratif tentang dakwah, budaya, karier, serta kesehatan? Ketika ada isu perundang-undangan ada juga yang "Speak up" lewat SW atau SG. Saya tidak mentah-mentah menganggap itu salah karena biasanya saya juga begitu. Tapi mari mengambil kaca dan sama-sama evaluasi apakah setelah kita upload isu tersebut ada kesadaran, kepahaman, dan kepedulian yang muncul? Itu harusnya dampak paling mentok. Bukan karena ikut-ikutan trend untuk pencitraan agar dianggap aware.   

Apakah pemerintah termasuk dalam Herd Stupidity?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun