Mohon tunggu...
Ikal Keriting
Ikal Keriting Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nikmati apa yang ada, selalu bersyukur, yakin, dan berusaha untuk selalu optimis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Laskar Pelangi dan Mimpi Sederhana Anak Kampung

17 November 2013   21:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin sempat membaca salah satu catatan di dinding facebook teman yang mengomentari tentang tetralogi Laskar Pelangi. Dengan bersemangat, dia berpandangan kalau tetralogi Laskar Pelangi kurang “bermutu”. “Sebab, di sana Andrea memandang pendidikan bukanlah sebagai alat peninggi harkat manusia (minimal dirinya sendiri), melainkan Cuma sebatas kendaraan mimpi, dan sayangnya, mimpi itu pun hanya sebatas ‘pergi ke luar negeri’ bukan mimpi-yang-besar, semisal ‘mengubah kepandiran negeri ini, dsb’”[1]. Dengan berlandaskan sebuah teori Gayatri Chakravorty Spivak untuk mendeskripsikan relasi antara kaum penjajah dan kaum terjajah, kelas dominan dan subaltern. Si teman itu memberi judul catatannya “Inferioritas Elite Terdidik sebagai Mantan Subaltern” (Andrea ia sebut sebagai subaltern atau rakyat jelata).

Catatan si teman, menurut saya, adalah catatan teoritis, karena dia melihat suatu permasalahan berdasarkan sebuah teori. Yah, itu wajar saja. Saya pikir ini adalah tugas kuliah yang kemudian ia upload di facebook. Jika sudah menggunakan sebuah teori untuk melihat sebuah persoalan, akan terlihat kemana arah yang akan dituju. Sebenarnya saya tidak terlalu paham dengan siapa dan seperti apa teori Spivak itu. Dari yang saya baca, spivak berfokus pada relasi antara kaum penjajah dan terjajah, kaum dominan dan subaltern, penguasa dan rakyat jelata. Sudah terlihat kemana arah pembicaraan catatan si teman.

Bermutu atau tidaknya sebuah karya tergantung dari sudut mana kita memandang. Terkadang kepentingan juga bisa mempengaruhi. Jika yang lihat adalah penjajah-terjajah, penguasa-rakyat jelata, penindas-tertindas, mungkin pendapat dan kesimpulan teman saya tersebut ada benarnya. Bagi saya, buku-buku Andrea adalah karya motivasi, pemberi harapan.

Bagi Andrea yang berasal dari salah satu pelosok desa di Belitong, menempuh pendidikan hingga ke jenjang tertinggi, terlebih lagi sampai ke luar negeri adalah sesuatu yang sangat luar biasa; jika tidak bisa dikatakan sebagai hal mustahil. Sosok Bu Muslimah sebagai seorang guru honor yang penuh ketulusan hati dan semangat membantu para siswa belajar juga memberi motivasi dan semangat kepada para guru honor di berbagai pelosok negeri ini bahwa mereka tidak sendirian. Ada banyak Ikal dan Ibu Muslimah lain di seluruh nusantara. Andrea membuktikan bahwa mimpi telah memberi mereka harapan untuk mewujudkan apa yang selama ini mereka anggap mustahil untuk diwujudkan.

Tidak bisa disalahkan jika sebagian mimpi mereka hanya sebatas dapat melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Jangan salahkan mereka atas mimpi sederhana itu. Berjuang mempertahankan mimpinya saja mereka harus jatuh bangun berkali-kali, apalagi harus mengubah kepandiran negeri ini. Itu bukan tanggungan mereka, tapi tanggungjawab kita bersama. Tidak butuh teori yang berbelit-belit untuk mengerti hal ini, cukup pemahaman tentang kondisi sosial yang ada saja.

[1] Aku mengutipnya langsung dari catatan si teman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun