Mohon tunggu...
Ikal Keriting
Ikal Keriting Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Nikmati apa yang ada, selalu bersyukur, yakin, dan berusaha untuk selalu optimis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Rambutan

22 April 2011   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:31 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari sedikit demi sedikit mulai merangkak naik. Para petani sudah sejak pagi tadi meninggalkan rumahnya dan pergi untuk mengurus padi yang sudah mulai menguning. Titik embun di daun pohon rambutan telah hilang. Warna hijau tua daunnya terlihat segar ditimpa sinar matahari pagi. Warna merah kehijau-hijauan terlihat bergerumbul di balik dedaunan, seakan malu untuk menampakkan dirinya kepada matahari pagi.

Pohon rambutan di depan rumah Lek Kasno masih pendek. Batang pohonnya masih sebesar betis orang dewasa. Dahan-dahannya juga masih kecil-kecil, belum kuat untuk menopang tubuh orang yang ingin menikmati buahnya. Buah rambutan berwarna kemerah-merahan menyembul satu-satu di sela-sela daun rambutan yang lembat, menarik minat siapa saja yang melihatnya.

Lek Kasno kelihatan sibuk pagi ini. Sejak pagi ia membongkar-bongkar gudangnya mencari sesuatu. Hari ini hari minggu, ia tidak kerja. Sehingga ia ingin mengerjakan pekerjaan di rumah yang belum sempat terselesaikan minggu kemarin. Lek Kasno mendapatkan sesuatu yang dia cari di gudang. Sebuah kawat berduri yang sudah berkarat ia bawa ke pohon rambutan. Kawat duri berkarat itu ia lilitkan ke batang dan dahan-dahan pohon rambutan. Namun, tidak semua ia lilitkan, karena ukuran kawat duri yang tidak terlalu panjang, ia hanya melilitkan pada bagian yang cukup besar.

Kemarin Lek Kasno marah-marah ketika baru pulang kerja. Ia melihat banyak daun rambutan dan kulit rambutannya yang masih belum cukup masak berserakan di bawah pohon. Tidak hanya itu, beberapa dahannya juga ikut patah, seperti baru habis dipanjat orang. “Ada yang maling rambutanku. Awas saja, kalau ketahuan, kupatahkan tangannya!” runtuk Lek Kasno dalam hati.

“Sibuk Lek?” sapa Misno yang kebetulan lewat di depan rumahnya. “Rambutannya sudah mulai merah-merah, sebentar lagi bisa makan rambutan nih?” sambung Misno guyon.

“Rambutan-rambutan, gundulmu. Gak tau apa semalem rambutanku habis dicolong orang? Kalau ketahuan orangnya yang maling rambutanku, kupatahkan tangannya,” jawab Lek Kasno ketus.
Mengetahui keadaan sedang tidak baik, Misno meneruskan berjalan ke warung seraya menggerutu dalam hati, “Wong guyon kok malah di sengitin.” Lek Kasno kembali sibuk dengan pekerjaannya, membuat ranjau untuk si maling rambutannya.

Menjelang siang, ia menunggu di dalam rumahnya, sambil mengintip melalui sela-sela dinding papannya yang sudah keropos di makan rayap. Ia ingin mencari tahu siapa sebenarnya orang yang maling rambutannya. Sebilah golok telah siap di sampingnya. Pagi-pagi tadi ia asah hingga mengkilap. Mungkin lek Kasno benar-benar berniat mematahkan tangan orang yang maling rambutannya.

Waktu yang ia tunggu akhirnya datang. Enam orang anak kecil bergerombol datang menuju pohon rambutannya. Mereka masih kecil, mungkin sekitar enam-tujuh tahunan. Yang paling besar di antara mereka sekitar delapan tahunan. Lek Kasno sedikit kaget melihat ternyata yang beberapa hari ini mencuri rambutannya adalah anak-anak kecil itu. Tetapi, tetap saja ia geram. Ingin sekali ia memitas kepala anak-anak itu biar jerah dan tidak lagi mencuri rambutannya. “Dasar maling cilik. Kecil-kecil sudah jadi maling, bagaimana kalau besar nanti?” gerutu lek Kasno.

Anak-anak kecil yang sudah siap di bawah pohon memulai dengan aksi mereka. Awalnya mereka ingin memanjat, tetapi karena kawat duri karatan yang melilit seperti ular di dahan pohon rambutan, mereka mengurungkan niatnya. Akhirnya mereka hanya bisa menggapai dahan yang lebih pendek. Satu-persatu buah rambutan berhasil ia dapatkan. Masih hijau-hijau. Tetapi tak apalah, bagi mereka rambutan pentil lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Lek Kasno berjalan tergesa-gesa keluar rumahnya. Ia ingin menangkap basah maling-maling cilik yang sudah menghabiskan rambutannya, memitas kepalanya, kemudian mematahkan tangan mereka agar kapok dan tidak akan mencuri lagi. Tetapi, ia bukan algojo yang tidak berperasaan melakukan hal-hal seperti itu, terlebih dengan anak-anak kecil yang masih di bawah umur.

“Hei, bocah!!” bentak lek Kasno,”Siapa suruh kalian mencuri rambutanku. Dasar maling cilik. Kupatahkan tangan kalian!!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun