Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang memiliki ciri morfologi yang khas. Walaupun merupakan tanaman besar (pokok), namun perakarannya serabut dangkal dan menyebar sesuai lebar tajuknya, penyerapan air untuk metabolisme lebih hemat dibandingkan tanaman pangan jika dihitung dari satuan luas dengan hasil panen yang didapat, hal ini diperkuat karena perakarannya yang dangkal dan hanya mampu menyerap air yang bersumber dari green water (air hujan) dan hanya sedikit sekali serapan dari blue water (simpanan air dalam tanah) itupun harus ketika panas yang sangat terik sehingga laju evaporasi dan transpirasi tinggi. Daunnya majemuk yang memiliki banyak anak daun berbentuk menyirip, dengan 8 buah daun membentuk 1 spiral, dalam satu tahun membentuk 24 daun. Batangnya tunggal tak bercabang, berbentuk kolumnar, dengan ketinggian mencapai 30 meter.Â
Tanaman  asli  Afrika  barat  ini  mampu  beradaptasi dan tumbuh dengan sangat baik Di Indonesia karena suhu, kelembaban, dan klim tropis yang mendukung pertumbuhan tanaman kelapa sawit, dengan rata rata curah hujan sekitar 2800 mm/ tahun. Nilai ekonomis dari hasil (yield) budidaya kelapa sawit yang sangat tinggi ditambah pengembangan risetnya yang sangat pesat di Indonesia menjadikan tanaman ini cocok sebagai investasi yang menjanjikan. Berdasarkan data BPS bahwa pada tahun 2022 lahan perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 15,34 juta hektar dan menjadikan Indonesia sebagai pengekspor utama dari produk kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam perekonomian Indonesia karena sebagai penghasil devisa terbesar dari bidang pertanian. Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan penting karena produk turunannya yang beragam. Buahnya dapat dijadikan crude palm oil (CPO) atau minyak mentah yang dapat diturunkan menjadi minyak sayur, minyak industri, bahan bakar nabati (biodiesel), hingga kosmetik. Daunnya dapat dijadikan kerajinan. Tanda kosong sisa buah sawit dapat dijadikan media tanam dan helm. Tanaman kelapa sawit hampir menandingi tanaman kelapa yang merupakan tanam kehidupan karena semua bagiannya dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Walaupun sudah cukup untung dari hasil tandan buahnya, namun perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih minim dalam penerapan pertanian berkelanjutan. Padahal jika sistem ini diterapkan maka akan lebih menguntungkan, tak hanya dari segi ekonomi, namun juga lingkungan. Cara yang paling mudah dan murah dalam penerapan pertanian berkelanjutan adalah menggunakan konsep Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) yaitu menggunakan masukan (input) dari luar yang sangat sedikit atau bahkan nol dan menggantinya dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya dari dalam perkebunan kelapa sawit sebagai masukan (input) yang diperlukan pada perkebunan kelapa sawit.Â
Beberapa penerapan LEISA yang dapat dilakukan pada perkebunan kelapa sawit diantaranya yaitu penggunaan pupuk organik berupa limbah POME (Palm Oil Mill Effluent) yaitu limbah cair industri pengolahan minyak sawit yang kaya akan nutrisi untuk tanaman atau dengan kompos yang dibuat dari pelepah penunasan. Kompos merupakan pupuk organik yang didapatkan dari proses dekomposisi (Pemisahan senyawa kimia menjadi lebih sederhana agar dapat diserap tanaman), biasanya dilakukan oleh bantuan tambahan mikroorganisme pendekomposisi yaitu bakteri dan jamur. Keduanya dapat digunakan sebagai pengganti pupuk makro dan pupuk mikro yang sangat dibutuhkan sebagai unsur hara oleh tanaman. Namun, hal ini perlu di kaji lebih lanjut dan uji laboratorium untuk mendapatkan hasil kandungan zat pada POME atau kompos pelepah daun sawit. Pupuk kimia yang kurang ramah lingkungan bahkan dapat mencemari lingkungan dapat diatasi dengan penggunaan bahan organik sebagai penggantinya.
Selanjutnya pemanfaatan LEISA untuk pembenah tanah pada perkebunan kelapa sawit yaitu dengan menggunakan biochar yang terbuat dari tandan kosong. Biochar merupakan bahan organik kaya akan karbon yang terbuat dari proses pembakaran tak sempurna (tanpa oksigen) atau pirolisis. Pemberian pembenah tanah ini berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah, menaikkan pH tanah untuk membantu ketersediaan hara makro, mengikat air, dan menahan pemadatan tanah yang berlebihan.
Sistem LEISA lainnya yang dapat digunakan pada perkebunan kelapa sawit yaitu sistem pertanian terpadu/ integrasi berupa tumpang sari (Intercropping) kelapa sawit pada tanaman belum menghasilkan (TBM) dengan memanfaatkan sisa lahan yang tidak tertanami dengan menanam tanaman selah seperti tanaman pangan maupun sayur. Intercropping juga dapat dilakukan pada tanaman menghasilkan (TM) kelapa sawit dengan metode hipopodium, yaitu menanam jamur atau sayur daun yang tahan naungan pada sisa penunasan pelepah daun yang masih menempel pada batang kelapa sawit. Sistem lainnya yaitu budidaya gabungan dengan peternakan seperti integrasi kelapa sawit dan sapi (Siska) dimana sapi akan memakan gulma (tanaman yang tak dikehendaki seperti rumput) sehingga tanaman sawit dapat tumbuh dengan maksimal.Â
Penerapan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) pada perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan. Dari segi ekonomi berupa penambahan penghasilan maupun, bahkan jika penerapannya skala besar, maka akan mengatasi permasalahan pangan di Indonesia. LEISA juga berdampak positif terhadap lingkungan karena menghasilkan tanpa limbah (zero waste) karena semua limbah kembali menjadi input untuk perkebunan. Namun, sistem LEISA tidak akan berarti jika hanya segelintir petani sawit yang melakukannya. Oleh sebab itu perlu kajian lebih mendalam mengenai hal ini agar petani semakin yakin untuk menerapkannya. Serta penambahan aturan melalui ISPO maupun RSPO mengenai penerapan sistem LEISA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H