Mohon tunggu...
Ardian Hismanto
Ardian Hismanto Mohon Tunggu... -

baik menurut kita belum tentu baik menurut mereka

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penyakit ????

20 Januari 2011   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:22 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Mungkin ini pengalaman pribadiku tentang sebuah PENYAKIT yang aku tidak tahu pastinya dan menurut aku cukup berpengaruh terhadap kehidupanku sampai sekarang.

Kalau dihitung lagi dari awal penyakit terungkap kira-kira sudah berjalan kurang lebih 15 tahun. Penyakit yangaku tidak tahu dari mana dan apa sebab penyakit ini mulai terungkap pada saat Bulan Puasa kira-kira tahun 1996 ketika aku masih seumuran anak kelas 6 Sekolah Dasar.

Ketika sedang menikmati suasana berbuka puasa bareng sama keluarga, selang beberapa menit aku terkejut ketika semua nasi sama lauk berceceran dari sendok yang digunakan untuk makan. Ketika aku bertanya, bapak langsung balik bertanya, “Ada apa dengan mu, kok tiba-tiba diam kayak patung ?” Saya pun kebingungan mendengar pertanyaan tersebut. Setelah dipaparkan ternyata tadi selama beberapa detik aku terdiam sambil pegang sendok dan ayah bereaksi menyenggol tanganku yang memegang sendok dan aku tak bereaksi apapun, jadi jatuh deh semua yang ada di atas sendok.

Sejak saat itu aku berpikir dan bertanya pada diriku sendiri “Ada apa denganku ya ???”

Sejak saat itu memang aku merasakan sebuah keanehan pada diriku. Tanpa sebab tanpa musabab, bisa saja aku merasakan seperti hilang kesadaran. Dan ketika kejadian tersebut berulang, selalu dibarengi dengan pertanyaan “Ada apa denganmu ?” dan dibarengi keheranan orang yang di dekatku pada saat itu

Pernah ketika aku sedang potong rambut sama temannya kakakku, selang beberapa menit dia bertanya ketika aku sadar “Ada apa denganmu tadi, kok tiba-tiba terdiam sampai jatuh tadi”, dan tetap saja aku meresponnya dengan pose keheranan. Selain itu pernah ketika sedang berdiri, tiba-tiba saja aku terjatuh dengan sendiri tanpa ada yang nyenggol apalagi nyentuh tubuhku ini. Semua kejadian dan pertanyaan yang seperti itu selalu dibarengi dengan diriku merasakan kepala agak pusing dan pandangan gelap seperti orang tertidur.

Merespon keanehan yang terjadi pada diriku, maka orang tua pun berpikir untuk sesegera mungkin membawaku ke dokter spesialis syaraf. Pada saat itu aku juga tidak tahu alasan kenapa orang tua kok membawa aku ke dokter spesialis syaraf, mungkin saja mengganggap ada ganggungan pada apa yang ada pada otakku atau bertanya-tanya orang tentang gejala yang aku alami.

Setelah mengalami pemeriksaan dari ujung rambut sampai ujung kaki, pak dokter pun menyimpulkan bahwa aku mengalami penyakit semacam gangguan syaraf dan menyerang otak kiri. Karena kagetnya aku dan bapak tak begitu serius mendengarkan penjelasan tentang nama penyakit dengan istilah kedokterannya. Tapi pada intinya aku dan bapak menggambarkan gangguan syaraf pada otak kiri atau semacam epilepsi. Dan dokter menuliskan sebuah resep obat sambil berkata, “Penyakit ini bisa sembuh sekitar 6 tahun, asal obatnya rutin diminum dan rutin periksa perkembangannya satu bulan sekali.”

Dengan menyerahkan uang senilai Rp 30.000, dengan muka yang masih agak kaget kami pun beranjak pergi ke luar ruangan dokter sambil membawa oleh-oleh berupa resep. Pada jaman itu uang 30.000 sudah cukup bikin dompet cekak belum lagi nebus obatnya. Tapi mungkin bapak berpikir, apalah arti uang dibanding kesehatan seorang anak.

Sejak itu, aku merasakan perubahan pada diriku. Orang tua yang semula bisa terbuka dan tidak suka main rahasia dalam keluarga, sejak saat itu seperti ada sesuatu yang disembunyikan dari aku. Selain itu, semua kegiatanku juga selalu di kontrol oleh orang tua maupun keluarga.

Aku yang awalnya suka renang, sejak saat itu aku dilarang untuk melakukan renang. Main kemana pun selalu harus tak jauh dari pemantauan orang-orang rumah. Kalaupun jauh, harus ada yang menemani, pokoknya seperti anak raja yang selalu dikawal.

Ayah dan Ibu selalu mengontrol apapun kegiatan yang aku lakukan. Kakak dan adik ku pun selalu mengingatkan aku untuk minum obat, walaupun adikku pada saat itu masih belum paham apa yang terjadi pada diriku.

Cukup susah juga bagiku pada saat itu menjalaninya semua perubahan tersebut mungkin lebih disebabkan karena sifat dan watak asli diriku yang cenderung aktif. Tapi mau tak mau memang harus dihadapi demi kesembuhan.

Berbekal perubahan tersebut, aku pun juga agak minder dan takut berteman karena aku berpikir nanti teman-teman pasti tidak mau berteman lagi denganku ketika mereka tahu kondisi aku yang seperti ini. Walaupun aku sembunyikan dan aku tutup-tutupi toh nantinya teman-teman semua juga pasti akan tahu bahwa aku punya penyakit dan selalu minum obat.

Sejak saat itu, aku selalu pilih-memilih dalam berteman sampai-sampai banyak orang berpikir aku adalah orang sombong yang tak mau mengenal maupun berteman dengan siapa saja. Aku juga bingung sendiri dengan keadaan ini sampai akhirnya aku berpikir untuk jalanin saja kehidupan walaupun dengan rutinitas periksa ke dokter, beli obat dan minum obat 3 kali sehari tiap bulannya, selain itu tak lupa aku juga berdoa memohon pada Yang Maha Kuasa semoga aku cepat sembuh. Tiap kali dalam hatiku cuma berkata semoga aku tidak kumat di luar rumah, supaya tidak ada orang yang tahu selain keluarga

Semua ini berjalan selama 2 tahun sampai aku beranjak memasuki masa SMP. Gejala-gejala penyakit yang ditakuti seperti dulu perlahan-lahan juga mulai berkurang dan dosis dari obat coba dikurangi tapi tetap saja aku takut atau minder sampai-sampai aku juga tidak beritahu teman-teman maupun sahabat tentang penyakitku ini. Mungkin ini pertanda bahwa ramuan pak dokter tadi memang mujarab walaupun belum sepenuhnya sembuh total. Dengan keinginan untuk sembuh, aku pun semangat dan rajin minum obatnya tanpa merasa canggung. Dan selama menjalani kegiatan belajar di sekolah aku tidak pernah kumat pas di sekolah. Karena bisa ribet ntar urusannya kalau sampai kumat pas di sekolah dan yang paling bahaya adalah banyak teman yang tahu akan kondisiku ini.

Berbagai aktivitas aku jalanin walau berbeda dengan yang dulu sebelum penyakit ini masuk ke otakku. Tapi dasar orang yang punya keinginan, ketika ada keinginan dan orang tua melarang karena faktor penyakit tapi diriku tetap saja nekat jalani walau dengan sembunyi-sembunyi.

Pernah suatu kali aku belajar naik motor dengan saudaraku dengan sembunyi-sembunyi tapi aku juga gak tahu orang tua mengetahui apa tidak kegiatanku ini. Tapi tanpa memikirkan itu, aku jalanin saja kegiatan ini selama beberapa minggu sampai aku benar-benar cukup lihai mengendarai motor. Setelah beberapa bulan akhirnya aku pun merasa sudah bisa mengendarai itu motor. Dan bertepatan dengan itu, ternyata orang tua tahu bahwa aku beberapa bulan tersebut sedang belajar naik motor. Tapi untungnya aku tidak dapat larangan tapi cuma dapat peringatan yang menurutku itu sebuah sinyal bahwa aku boleh naik motor. Mungkin orang tua juga berpikir dari perkembangan kesembuhanku yang positif.

Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, penyakit itu tidak pernah kumat lagi bebarengan dengan kegiatan rutinitas minum obat yang mulai dikurangi lagi dosisnya. Dengan campur aduknya aktivitas yang dijalani selama itu, lama-kelamaan muncul juga perasaan bosan dan berontak akan kondisi semua ini. Lebih tepatnya ketika beranjak SMA semua itu mulai muncul. Mungkin karena pada saat itu memang sudah memasuki fase remaja, masa dimana seorang remaja butuh kebebasan untuk mengekspresikan keinginannya

Selain itu juga mungkin karena aku masih beranggapan semua ini tidak sesuai dengan dengan watakku yang bisa dibilang hiperaktif. Siapa yang tidak mau bosan dengan kehidupan ini, kemana-mana tidak bebas, tiap bulan sekali harus periksa ke dokter dan disana pun selalu dinasehati dengan kata-kata “Jangan lupa obatnya diminum rutin, jangan kecapekan atau kelelahan, serta jangan banyak pikiran.” Lama-lama semangatku minum obat obat 3 kali sehari luntur juga. Walaupun bukan aku sendiri yang antri beli obat, tapi kebosanan itu tetap muncul. Dengan keluhan tersebut, akhirnya aku yang dulunya rajin minum obat berubah jadi malas minum obat walau rutinitas periksa ke dokter tiap bulan tetap dilakukan. Aku beranggapan bahwa aku seperti orang yang tidak normal saja, masak tiap hari minum obat melulu. Iya kalo rasa obat seperti rasa permen bisa saja aku habisin dalam sekali lahap, tapi ini obat pahit dan ada dosisnya dalam setiap minum.

Bersamaan dengan itu, melihat teman-teman seusiaku yang sudah boleh naik motor saat sekolah, Aku pun beranikan diri ngomong ke orang tua bahwa aku pengen naik motor juga. Dengan ekspresi wajah yang memelas akhirnya orangtua mengijinkan aku tuk naik sepeda motor ke sekolah tapi dengan catatan percobaan selama 3 bulan. Dengan restu orang tua, akhirnya aku pun bahagia karena boleh naik motor ke sekolah, hitung-hitung biar tidak kecapekan seperti apa yang dibilang pak dokter. Sejak saat itu kebosananku mulai berkurang karena aku lumayan bisa habiskan waktu dengan kegiatan di sekolah maupun di luar sekolar sesuai dengan apa yang aku ingin, walaupun terkadang bohong ke orang tua. Aku juga berpikir mungkin orang tua juga mengerti kebosanan yang aku alami, maka perlahan-lahan aku mulai diberi kebebasan yang sesuai aku mau.

Tapi apa terjadi….. dengan kebebasan yang tidak diimbangi dengan minum obat yang tidak rutin pula, pada suatu saat ada kejadian yang hampir berakibat fatal.

Apakah itu ???

Ya… betul, penyakitku kumat lagi dan kejadiannya hampir buat nyawaku melayang karena kejadian itu pas aku naik sepeda.

Begini ceritanya...

Seperti aktivitas seorang siswa SMA lainnya. Pagi berangkat dan menjalani kegiatan belajar di sekolah seperti biasanya, begitu pula pas mau pulang sekolah juga biasa. Begitu keluar kelas aku beranjak ke parkiran untuk segera keluarkan motor, sambil ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman. Sesampai depan gerbang sekolah kami pun berpisah dengan arah tujuan masing-masing.

Pada saat itu aku mengitari perjalanan pulang sendirian tiada yang menemani. Aku pun mengendarai motor dengan santai sambil lihat pemandangan sekitar walaupun pemandangannya tidak ada yang berubah karena hampir tiap hari lewat. Selang beberapa kilometer berjalan tiba-tiba diriku merasakan agak pusing dan setelah itu pandangan hitam dan aku tidak ingat lagi.

Begitu sadar aku pun bingung dan bertanya “Dimana ini, kok ada bapak sama ibu di sini ?” Ketika aku tengok kiri-kanan-atas-bawah dan meraba-raba diriku, baru aku mengetahui kalau aku sedang terbaring di Rumah Sakit dengan beberapa luka jahitan di leherku. Tapi untung saja tidak sampai bermalam di Rumah Sakit.

Sesampai di rumah aku pun bertanya tentang apa yang terjadi denganku tadi, dan ibu pun baik bertanya sambil setengah menangis dan sedikit emosi, “Kumat lagi ya penyakit mu ???"

Aku pun hanya menggelengkan kepala tanpa arah yang jelas karena bingung dan takut. Bingung dengan apa yang terjadi serta takut cerita kalau tadi sempat mengalami gejala penyakit mau kumat.

Lalu ibu pun menjelaskan "Tadi siang kamu nabrak pagar besi yang dihiasi dengan besi-besi runcing di atasnya, sepedanya nancap di sela-sela pagar sedangkan leher kamu hinggap di atas pagar tersebut, makanya lehermu tadi dijahit.” Aku pun mendengarkan sambil meraba leher ku yang masih ada 3 bekas jahitan yang masih ditempeli kapas.

Sembari menatap wajah ibu, tiba-tiba bapak menyahut dengan nada seperti emosi, “Ini pasti karena obatnya jarang kamu minum ya, untung aja masih leher bukan nyawa mu!!!”

Aku pun terdiam kayak orang yang disidang Hakim.

Sejak saat itu pun mau tak mau aku harus menjalani kehidupan seperi dari awal lagi ketika aku minum obat dengan dosis yang awal pula



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun