7.40, aku terbangun di depan laptop Sam yang lupa ku charge baterainya hingga mati. Semalaman aku mengerjakan tugas makalah sambil mendengarkan cerita dari Sam. Ia masih tertidur di kasurnya, sepertinya ia akan terlambat kuliah pagi ini. Kamarnya begitu gelap, karena Sam tak suka tertidur dengan cahaya terang. Aku tak bisa menemukan handphone ku untuk penerangan sementara. Yah, aku harus mencari sendiri saklar lampunya.
Ku coba berdiri dan melangkah sembari meraba-raba. Lantai terasa kesat, mungkin bekas tumpahan kuah mie rebus semalam yang lupa Sam bersihkan. Aku menjulurkan tanganku kedepan, ternyata aku meraba-raba perut Sam yang basah dengan keringat. Maklum, pendingin ruangan kamar Sam sedang rusak sampai-sampai kami harus tertidur tanpa pendingin ruangan, walaupun hawa semalam cukup sejuk karena hujan turun.
Tanganku menapak-napak di dinding, mencari saklar lampu yang tak terlihat olehku. Aku berjalan tanpa kacamata, membuat penglihatanku sedikit buram dan tak jelas.
Tanganku menyeka keringat yang tak henti turun di dahiku. Entah perasaanku saja, atau memang kuah mie rebus semalam itu tumpah kemana-mana. Membuat langkah kakiku menjadi kesat karena menginjak air kuah.
Setelah beberapa lama meraba-raba dinding, aku berhasil menemukan saklar lampu yang ternyata ada di dekat sudut kamar. Kunyalakan lampu dan ruangan akhirnya terang benderang.
Terang, menampilkan nuansa merah pekat yang terpantul dari lantai di depanku.
"B-bukan kuah mie..." Aku melihat dinding yang terdapat jeplakan tanganku menempel berwarna merah. Persis semerah darah yang kulihat menggenangi lantai di depanku.
Gunting untuk membuka plastik mie telah berpindah dari atas meja lemari, ke lantai tepat di bawah tangannya yang menggantung kaku.
Perut Sam telah robek terbuka dan terkoyak oleh gunting itu.
Author:
Ardhika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H