Negara Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, agama dan budaya yang berbeda. Ada banyak sekali keragaman yang ada didalamnya, salah satunya yakni kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari rumah adat, upacara adat, tarian adat, pakaian adat tradisional hingga makanan khas daerah yang berbeda- beda. Keberagaman kebudayaan menjadi kekayaan dan keindahan tersendiri bagi Indonesia. Namun, dengan adanya ragam budaya ini juga menjadikan Indonesia rentan akan konflik dan perpecahan (Lintang and Najicha 2022).
Dosen adalah sosok yang sering ditemui mahasiswa dalam fase hidupnya menempuh pendidikan peguruan tinggi. Sehingga pembentukan karakter mahasiswa dimulai dari interaksi bersama dosennya. Dengan rata-rata usia 20 tahun, mahasiswa merupakan aset bangsa yang sangat berharga dimana pada usia tersebut manusia masih berada pada masa-masa keemasan dalam mencari jati diri (Manurung and Rahmadi 2017). Â Pemuda pemuda ini yang nantinya mengisi sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang nantinya mengisi kehidupan bernegara yang beragam ini. Dosen merupakan faktor utama yang diharapkan mampu membentuk mahasiswa menjadi pribadi yang memiliki nilai nilai kebangsaan dan pancasila. Melalui interaksi yang terus menerus dalam kehidupan akademik, dosen diharapkan mampu menjadi suri teladan atau sosok yang mampu dicontoh mahasiswa dalam berperilaku. Perilaku yang diawali dari niat untuk bernegara sesuai nilai nilai kebangsaan dan pelestari pancasila.
Nilai nilai kebangsaan dan pancasila jika dikristalisasi menjadi poin poin adalah sebagai berikut (Mahardika 2018):
Pertama, nilai religius/keagamaan. Nilai ini mencerminkan adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang berkuasa atas mereka, dalam hal ini mereka berusaha membatasi perilakunya. Dari uraian tersebut, sikap yang perlu diwariskan adalah sikap penghormatan kepada yang lain, mengatur perilaku agar tidak semaunya dan penghormatan serta pemujaan sebagai dasar keagamaan.
Kedua, nilai gotong royong. Masyarakat pra-sejarah hidup secara berkelompok, bekerja untuk kepentingan kelompok bersama, membangun rumah juga dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya bangunan- bangunan megalith yang dapat dipastikan secara gotong royong/bersama-sama. Dengan demikian patutlah ditiru bahwa hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama hendaklah dilakukan secara bersama-sama (gotong royong) dengan prinsip berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Ketiga, nilai musyawarah. Nilai ini sudah dikembangkan masyarakat pra-sejarah dalam hidupnya seperti dalam pemilihan pemimpin masyarakat dalam usaha pertanian dan perburuan. Dari perilaku tersebut menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya asas demokrasi.
Keempat, nilai keadilan. Sikap ini sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat prasejarah sejak masa berburu yaitu adanya pembagian tugas sesuai dengan tenaga dan kemampuannya sehingga tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Sikap keadilan ini berkembang pada masa perundagian, yaitu pembagian tugas berdasarkan keahliannya.
Dalam konteks kehidupan akademik maka implementasi menjadi seperti, (1) Religiusitas, dosen dalam bertindak selalu mengedepankan nilai agama, dimulai dari pembelajaran yang diawali dengan berdoa, mempunyai batasan pergaulan dengan lawan jenis di dalam kelas, menggunakan lisan maupun badan yang tidak menyakiti mahasiswa, dan melakukan tugas sesuai amanah yang disepakati.
Gotong royong, dosen diharapkan mampu membentuk iklim akademik yang mendukung nilai gotong royong, mulai dari pembentukan kelompok, memberikan tugas yang ditujukan untuk kelompok, dosen juga perlu memiliki untuk turut membantu kendala kendala yang dihadapi mahasiswa dalam kehidupan akademik.
Musyawarah, dosen diharapkan bisa menjadi teman diskusi mahasiswa, Â contoh dalam menentukan program kerja Kuliah Kerja Nyata (KKN), dosen diharapkan turut hadir memberikan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dalam proses penentuan program kerja Kuliah Kerja Nyata (KKN). Keadilan, dosen diharapkan mampu bersikap adil dalam berperilaku, contoh ketika memberi tugas proyek, telah disesuikan dengan kemampuan dasar mahasiswa tersebut. Dalam pemberian nilai harus secara objektif, serta objektif dalam memberikan reward atau punishment.
Kesimpulannya, dosen sendiri harus terus belajar nilai nilai kebangsaan dan pancasila, serta instropeksi diri apakah selama ini dalam bersosial sudah menerapkan nilai nilai kebangsaan dan pancasila, mempunyai kesadaran jika ada yang tidak sesuai dan berusaha untuk memperbaikinya. Sehingga, dampak ketika bergaul dengan mahasiswa dalam kehidupan akademi, menularkan kebaikan dalam konteks nilai nilai kebangsaan dan pancasila.
Daftar Pustaka:
Lintang, F. L. F. and F. U. Najicha (2022). "Nilai-nilai sila persatuan Indonesia dalam keberagaman kebudayaan Indonesia." Jurnal Global Citizen: Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan Kewarganegaraan 11(1): 79-85. Â Â Â Â Â Â
Mahardika, A. G. (2018). "Menggali nilai-nilai kebangsaan dalam Pancasila sebagai groundnorm Negara Kesatuan Republik Indonesia." Ahkam: Jurnal Hukum Islam 6(2): 267-292. Â Â Â Â Â
Manurung, M. M. and R. Rahmadi (2017). "Identifikasi faktor-faktor pembentukan karakter mahasiswa." JAS-PT (Jurnal Analisis Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia) 1(1): 41-46. Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H