Plastikmu membunuhku, kertasmu menggunduli hutanku.
Ajakan untuk mengurangi atau bahkan menolak penggunaan kantong plastik dan barang sekali pakai yang terbuat dari plastik gencar dilakukan. Alasannya sederhana: plastik tidak ramah lingkungan karena sulit terurai secara alami.
Kampanye ini dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti mengganti kantong plastik dengan kantong kertas atau tas kain, sedotan plastik dengan sedotan stainless steel, gelas plastik sekali pakai dengan gelas kertas sekali pakai dan berbagai bentuk penolakan plastik yang lain.
Bahkan, beberapa daerah di Indonesia membatasi penggunaan kantong plastik. Jakarta, Bali, Bogor, Balikpapan, Bekasi dan beberapa daerah lain melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik per tahun, 3,2 juta ton di antaranya berakhir di laut tanpa melalui proses daur ulang.
Tentunya, sampah plastik yang berakhir di laut ini mengancam ekosistem laut. Sudah banyak contoh kasus ancaman plastik bagi biota laut, seperti penyu yang tersangkut sedotan plastik, paus pemakan sampah, ikan dan kerang yang mengandung mikroplastik dan kasus-kasus lainnya.
Ancaman langsung bagi manusia juga sering terjadi, seperti banjir karena saluran air tersumbat sampah plastik. Belum lagi ancaman mikroplastik yang mungkin terkandung dalam bahan makanan seperti ikan maupun daging.
Mikroplastik sendiri merupakan komponen plastik berukuran antara 1 micrometer hingga 5 milimeter. Mikroplastik terbentuk dari penguraian partikel plastik yang lebih besar.
Ada banyak dampak negatif mikroplastik bagi manusia, mulai dari gangguan sistem saraf, kekebalan tubuh dan hormon, hingga meningkatkan risiko kanker (Wiradarma, 2019).
BACA JUGA: Diversifikasi Pangan Sebagai Pilar Ketahanan Pangan
Meskipun begitu, perlu diketahui, sebelum semua masalah lingkungan yang disebabkan plastik ini terjadi, beberapa dekade lalu plastik diciptakan untuk tujuan pelestarian lingkungan.
Sejarah Plastik
Maraknya penggunaan kertas untuk tas dan kantong belanja meningkatkan penebangan pohon pada tahun 1950an. Sten Gustaf Thulin dalam artikel penemuannya yang berjudul "Bag With Handle of Weldable Plastic Material" menawarkan sebuah material kuat, ringan dan tahan lama untuk menggantikan penggunaan kertas yang mengakibatkan meningkatnya penebangan hutan (Thulin, 1959).
Penemuan ini berhasil menekan penggunaan kertas dalam berbagai industri. Plastik menjadi "penyelamat" lingkungan pada saat itu.
Thulin menciptakan kantong plastik (plastic bag) agar bisa digunakan secara berulang dalam waktu yang lama. Thulin selalu membawa satu buah kantong plastik di saku celananya. Hal ini Ia lakukan untuk mengurangi maraknya penggunaan kantong kertas pada masa itu.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, kemalasan masyarakat mengubah kebiasaan penggunaan plastik yang tadinya digunakan berulang menjadi hanya sekali pakai.
Hal ini terus berlanjut hingga berbagai industri mengadopsi penggunaan plastik untuk produknya. Akibatnya, plastik yang diciptakan untuk melestarikan lingkungan jutsru menjadi ancaman serius bagi lingkungan.
Lantas, apakah kita harus kembali menggunakan kertas?
Sebelum lebih jauh membahas soal kertas, penting untuk mengetahui sesuatu yang disebut jejak karbon (carbon footprint). Jejak karbon adalah total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia. Dihitung dalam satuan ekuivalen karbondioksida CO2e (carbontrust, 2008).
Sebagai contoh, saat ini 93% kertas yang diproduksi di dunia berasal dari pohon. Untuk menebang pohon tentunya membutuhkan mesin yang menggunakan sumber energi seperti bahan bakar fosil. Sebelum menjadi kertas, pohon-pohon yang ditebang perlu melalui proses panjang mulai dari pengupasan, pemotongan, pemasakan, ya, kayu yang telah dipotong akan dimasak dengan cara tertentu.
Setelah itu kayu akan berubah menjadi bubur kertas (pulp). Pulp ini masih mengalami beberapa proses sebelum menjadi kertas, proses ini tentunya membutuhkan bahan bakar, listrik dan juga air.
Dalam pembuatan 1 ton kertas dari pohon utuh hingga menjadi kertas membutuhkan 957,6 liter bensin. Serta menggunakan 324 liter air untuk setiap 1 kg kertas yang dihasilkan.
Pembakaran bensin dan listrik yang digunakan akan berubah menjadi emisi gas rumah kaca. Sumber energi yang berubah menjadi gas rumah kaca inilah yang bisa disebut sebagai jejak karbon.
Proses panjang ini menyebabkan produksi kertas membutuhkan energi 3,4 kali lebih besar dibandingkan dengan produksi plastik (EcoEnclose, 2018). Dikutip dari qureta.com, menurut Badan Energi Internasional (IEA), industri kertas menempati urutan keempat penggunaan energi industri tertinggi. Pabrik kertas mengonsumsi sekitar 6% dari total energi industri dunia, sehingga pabrik kertas menyumbang emisi gas yang cukup tinggi.
Antara tahun 2001 - 2011, 386 juta hektare hutan "lenyap". Deforestasi untuk kebutuhan industri berperan besar pada pengurangan luas hutan. 42% penebangan hutan di seluruh dunia dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan kertas.
Berdasarkan estimasi, 40% sampah yang ada di Amerika Serikat adalah sampah kertas. Sedangkan 25% sampah dunia adalah sampah berbahan kertas (theworldcounts).
Sekilas, penggunaan kertas sebagai pengganti plastik terlihat sangat ramah lingkungan. Jika tidak melihat lebih jauh, hal ini bisa jadi benar.
Namun, meningkatnya penggunaan kertas tanpa proses pengelolaan sampah kertas yang baik akan menimbulkan masalah baru. Penebangan Hutan akan semakin tinggi, hal ini mempercepat hilangnya kawasan hutan hujan dunia. Berdasarkan prediksi yang dibuat Theworldcounts, hutan hujan dunia akan lenyap sepenuhnya dalam waktu 78 tahun dari sekarang. Tentunya ini bisa menjadi pertimbangan bahwa kertas tidak selalu lebih baik dari plastik.
Di Indonesia sendiri, penggunaan bahan kertas maupun plastik akan berakhir di tempat yang sama; laut, sungai, tempat pembuangan akhir atau bahkan tempat yang di luar dugaan, tanpa proses lebih lanjut. Kondisi ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dari rumah.
Hasil survei Katadata Insight Center (IKC) di 5 kota di Indonesia; Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Surabaya menunjukkan, hanya 50,8 persen responden yang memilah sampahnya secara mandiri (Katadata, 2019).
Alasan lainnya adalah proses pengelolaan sampah yang tidak tuntas. Beberapa daerah di Indonesia masih mengandalkan teknik open-dumping. Dengan cara ini, sampah hanya akan berakhir di Tempat Pembuang Akhir (TPA), alias dibuang, ditumpuk dan dibiarkan begitu saja.
Mengalihkan penggunaan plastik dan menggantinya dengan kertas tentunya tidak akan berdampak banyak jika masalah utamanya bukanlah pada bahan yang digunakan. Melainkan karena buruknya proses pengelolaan sampah yang ada.
Kantong plastik yang digunakan berkali-kali hingga rusak, kemudian didaur ulang tentu tidak akan berakhir di laut, sungai, pinggir jalan atau mencemari lingkungan. Sama halnya dengan plastik, jika kertas digunakan berulang hingga tidak bisa digunakan kemudian didaur ulang, tentu dapat mengurangi penebangan pohon yang lebih masif.
Sebaliknya, jika kertas hanya digunakan satu kali kemudian dibuang, tentu penebangan pohon akan semakin masif, menambah jejak karbon yang dihasilkan, serta menghabiskan energi lebih besar.
Ini bukan soal bahan apa yang kita gunakan, melainkan bagaimana cara kita memanfaatkan dan mengelola bahan yang tersedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H