Evaluasi sistem pendidikan, Programme for International Student Assesment atau yang disingkat dengan PISA meliris hasil perolehan tingkat literasi, terbaru pada tahun 2022. Sayangnya negara Indonesia masih berada pada urutan ke-sepuluh dari bawah, yaitu peringkat 70 dari 80 negara di seluruh dunia (detik.com, 19/12/2023). Literasi dimaknai bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis saja, lho. Literasi juga mencakup kemampuan siswa berbicara dan mendengar, sebagai cara untuk berkomunikasi secara efektif dan memahami dunia di sekitarnya (kompas.id, 14/10/2023).
Jadi, tugas 'menggenjot' kemampuan literasi siswa bukan hanya tertuju pada guru Bahasa Indonesia saja, melainkan kepada guru mata pelajaran lainnya juga. Saya mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada tingkat menengah pertama juga menengah atas. Selama ini siswa menganggap mata pelajaran yang saya emban ini selalu bersentuhan dengan penghapalan doa. Tapi kali ini saya akan mengubah pola pikir tersebut.
Tentunya dengan tidak mengesampingkan esensi dasar mata pelajaran agama. Misalnya menghapal bacaan dalam salat, menghapal surah pendek, menghapal doa ampunan untuk kedua orangtua, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan hal mendasar yang anak-anak wajib bisa. Karena tidak mungkin materi-materi tersebut diajarkan oleh guru mata pelajaran umum, seperti biologi, matematika dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana saya mengombinasikan hal tersebut? Saya menggunakan metode story telling. Apa dan bagaimana penggunaannya? Story telling adalah pengungkapan cerita yang diceritakan kembali dengan bahasanya sendiri. Gambaran sederhananya begini, si Andi menceritakan pengalamannya jatuh dari sepeda kepada Ari. Di hari yang lain, Ari yang berjumpa dengan Salman, menceritakan pengalaman seru si Andi yang jatuh dari sepeda. Dengan bahasa dan gayanya sendiri, tanpa mengurangi maksud dan tujuan cerita tersebut.
Kurikulum Merdeka memusatkan pembelajaran kepada siswa, bukan lagi guru. Artinya siswa diminta aktif untuk membuat karya, baik itu berupa projek, maupun unjuk kerja. Nah, dalam pemberian materi kepada siswa, saya membagi satu materi di buku ajar menjadi beberapa bagian. Dimana setiap siswa mendapat bagian dua atau tiga paragrap. Pemanasan di awal penting dilakukan agar anak-anak tidak terkejut. Mungkin metode ini belum pernah mereka terima sebelumnya.
Sayapun tidak memaksakan diri agar mereka bisa menceritakan kembali materi tersebut seperti seorang penceramah. Kalaupun ada yang seperti itu, ya alhamdulillah, berarti mereka berasal dari saringan siswa terbaik. Paling mentok, mereka membacakan kembali tanpa melihat paragraf yang telah saya bagikan. Tapi tetap saya katakan bahwa bukan itu gol-nya.
Dua puluh persen saja mereka dapat menceritakan kembali dari paragrap tersebut dengan gaya menceritakan mereka sendiri itu sudah sangat baik. Seiring berjalannya waktu, jika kegiatan itu sering dilakukan, maka literasi peserta didik akan semakin membaik. Beberapa tujuan dari metode story telling ini adalah;
Pertama, meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk berbicara di depan kelas, di hadapan teman-temannya. Dengan cara, meminta siswa memandang teman-temannya saat menceritakan kembali bagian paragrap yang mereka uraikan.
Â
Kedua, meningkatkan keterlibatan siswa. Keterlibatan siswa sangat ditekankan dalam kurikulum ini. Oleh karenanya, kalau biasanya saya menjelaskan paragrap per-paragrap dari materi yang ada di buku, kini berganti menjadi siswa yang harus bisa menceritakan kembali dengan bahasa mereka sendiri. Sesuai dengan bagian paragrap yang saya bagikan persiswa. Dari 20 persen yang mereka ceritakan, 80 persennya akan dilengkapi oleh saya, berikut dengan penjelasan terkait hal yang belum dimengerti.