Jika survey kepuasan pelanggan terhadap suatu produk ditentukan dengan nilai, misalkan nomor satu hingga sepuluh, dan nomor tertinggi adalah perwakilan akbar atas kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan, maka nomor terendahpun mewakili ketidakpuasan pelanggan terhadap produk tersebut.
Jika dua dari lima orang yang menjawab tidak puas, apakah produk itu lantas dilabel gagal? Bagaimana dengan tiga orang sisanya yang menjawab puas, atau paling tidak satu diantaranya memberi nilai sembilan, atau masih banyak lagi yang tidak terjangkau untuk di survey yang menyatakan kepuasan mereka terhadap produk tersebut?
Produk itu bukan menjadi produk yang gagal, melainkan menjadi bahan pertimbangan perusahaan untuk berinovasi lagi lebih baik kedepannya. Bisa saja kedua orang penilai itu tidak menyukai produk tersebut, atau mungkin salah sasaran dalam memasarkan produk tersebut.
Apa kaitannya dengan siswa dan nilai? Maka salah jika guru melabel siswa "pintar" dan "tidak pintar". Mungkin karena sudah terbiasa menjadikan angka sebagai penentuan urutan kepintaran siswa di kelas. Apakah siswa dengan urutan kepintaran paling akhir lantas mutlak dilabel tidak pintar? Siapa bilang?
Nyatanya, banyak ditemui orang-orang sukses yang dulunya tidak terlalu pintar di kelas. Bahkan ada yang tidak tamat sekolah. Namun mereka menjadi orang-orang sukses. Apakah mereka tidak pintar? Tentu tidak, kawan!
Siswa yang mendapat nilai rendah dalam satu atau beberapa bidang studi bukanlah karena tidak pintar. Ada banyak hal yang ia bisa dan mampu, hanya tak terendus oleh angka penilaian saja. Mungkin itu bukan passion nya.Â
Atau mungkin itu bukan hal yang menarik untuknya. Dan sebaiknya pihak sekolah tidak memaksakannya untuk bisa menguasai semua mata pelajaran dengan nilai maksimal.
Kecerdasan setiap anak pasti berbeda. Mengutip informasi dari kompas.com, 01/10/2015, peneliti mengungkapkan ada 8 jenis kepintaran anak. Yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak tubuh, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Bisa jadi si anak lemah dalam mata pelajaran matematika, namun ia menyukai pelajaran prakarya. Besar kemungkinan juga ia bisa menjadi seniman kelak. Atau menjadi pengusaha yang menjual barang-barang kesenian kerajinan tangan atau lainnya. Maka, pikirkanlah ketika anda akan memberi nilai kepada siswa.
Apa dampak yang akan dirasakan siswa jika anda memberi nilai rendah, walau nyatanya ia memang mendapat nilai rendah? Menjadi beban si anak, iya.Â
Karena tidak semua orangtua memahami konsep kecerdasan anak yang 8 jenis diatas. Anak juga bisa tidak percaya diri ketika jam pelajaran dimaksud dimulai.
Belajar itu yang penting guru mampu menyampaikan ilmu pengetahuannya pada siswa. Hingga mereka paham tanpa ada beban harus yang terbaik dari teman-temannya.Â
Bagaimana membuat lingkungan belajar dalam kelas menyenangkan, sehingga siswa senang mengenyam pelajaran yang berlangsung tanpa ada rasa takut untuk menyelesaikan ketertinggalan.
Nilailah semua siswa dengan nilai yang baik, bukan rendah. Untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya dalam belajar, juga menghilangkan kebencian terhadap mata pelajaran tertentu dalam hatinya.
Salam sukses
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H