Mohon tunggu...
Ardi
Ardi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Swasta Mengabdi 12 Tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan terhadap Guru, Kurang Belajar Agama

16 Februari 2018   07:08 Diperbarui: 16 Februari 2018   07:36 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin berkembangnya kemajuan teknologi, semakin cepat pula informasi tersebar. Kini, hanya dalam hitungan detik saja, kejadian luar biasa diluar kota bahkan diluar negeri, dapat tersampaikan dengan baik. Sebagai efek dari pesatnya berbagai media sosial. Yang dikhawatirkan adalah informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya alias hoax. 

Misalnya mengatasnamakan agama agar orang percaya dan mau menyebarkannya pula. Ini penting bagi praktisi keagamaan untuk menyaring informasi. Istilah-istilah keislaman tidak terlepas dari bahasa Arab. Dengan memiliki pondasi ilmu bahasa arab yang kokoh, seorang muslim mampu menelaah informasi agama yang benar.

Dahulu tulisan dalam mushaf tidak berbaris dan tidak bertitik. Orang arab bisa membacanya karena itu memang bahasa mereka. Pada masa tabiin barulah mushaf itu diberi baris dan titik agar banyak umat Islam yang non-Arab pun bisa mempelajarinya. Begitu juga tajwid atau aturan membaca Alquran yang telah dirumuskan. Tujuannya untuk menyeragamkan cara membaca Alquran.

Salah membaca baris dalam bahasa arab bisa mengubah makna dari kalimat tersebut. Misalkan kata tersebut seharusnya dibaca dengan kasrah (baris bawah) tapi malah dibaca dengan fathah (baris atas). Peletakan baris bisa mengubah posisi kata tersebut dari pelaku menjadi objek atau malah sebaliknya. Dari sinilah lahir ilmu tata bahasa Arab yang dikenal dengan nahwu dan shorof. Ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata beserta peletakan baris pada kata sesuai posisinya, baik ia menjadi pelaku, kata kerja atau objek.

Namun harapan itu masih jauh dari fakta. Pengalaman saya mengajar privat mengajike rumah-rumah menyimpulkan bahwa masih sedikit sekali orang tua yang mau memperdulikan anaknya untuk belajar mengaji, khususnya ilmu bahasa Arab. Mereka lebih menomorsatukan belajar bahasa asing walaupun biaya belajar yang harus dibayar tiga kali lipat dari biaya belajar mengaji atau ilmu bahasa arab.

Jika begini, maka lambat laun akan punahlah kecintaan anak-anak untuk mempelajari agama. Padahal ilmu agama itu adalah pondasi mereka dalam bersosialisasi. Seorang akan lebih dihargai karena tingkah lakunya yang beragama dari pada keilmuannya yang tinggi namun tidak punya akhlak. Dalam menuntut ilmu, hendaklah mempelajari bagaimana adab atau bersikap sebagai seorang penuntut ilmu. Diantaranya adalah menghormati guru dan bersungguh-sungguh.  

Sederhananya, seorang siswa membutuhkan guru untuk menimba ilmunya dan pengalamannya. Jika tidak ada sikap baik dan hormat dari sang murid, bagaimana seorang guru mau berbagi pengetahuannya. Sebaiknyalah orang tua membekali anak didik dengan pendidikan agama. Jangan hanya mengharapkan pelajaran agama dari sekolah saja. Karena alokasi waktunya hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Jika banyak orang tua yang sepakat dengan konsep ini, maka akan berkuranglah kasus penganiayaan guru terhadap siswa yang saat ini sedang banyak di media-kan.

 Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun