Alhamdulillah, senang sekali rasanya bisa merampungkan bacaan dari penulis novel best seller sekaligus novelis nomor satu di Indonesia versi Insani Universitas Diponegoro Semarang ini. Buku ayat-ayat cinta 2 ini mampu menyuguhkan bacaan yang sangat memotivasi anak muda Indonesia khususnya, dan umat muslim pada umumnya. Kang Abik meramu novel ini dengan banyak ilmu pengetahuan, baik itu ushul fiqh, fiqh dakwah maupun wawasan keislaman lainnya.
Buku setebal 698 halaman ini dapat menjadi referensi mahasiswa maupun kalangan umum yang sebelumnya belum pernah membaca buku setebal itu. Pengalaman membaca buku setebal itu dapat menjadi pelatihan bagi diri sendiri. Selain kegemaran membaca, juga membiasakan diri memegang kitab yang tebal. Jadi, jika ada buku yang lebih tipis akan lebih mudah untuk membacanya dengan waktu yang singkat karena sudah terbiasa membaca buku yang tebal. Awalnya saya berencana untuk menghabiskan bacaan buku ini dalam beberapa hari saja, paling lama seminggu. Namun rutinitas harian yang tak mungkin dielakkan, membuat target menuntaskan bacaan buku ini menjadi molor, hingga kurang lebih empat minggu.
Bagian buku yang saya suka adalah ketika Fahri mencari Sabina, yang kala itu tengah heboh di beritakan di media massa dengan photonya yang memegang selembar kartun bertuliskan ‘homeless’ menjadi headline. Iapun mencari Sabina mengelilingi kota. Ia menemukan Sabina tengah sholat diatas rumput dengan muka pucat pasi hingga pingsan. Orang-orang sekitar mengerumuninya. Fahri bersama supirnya, Paman Hulusi, mendatanginya hingga mengurusnya di rumah sakit.
Waktu berlalu hingga Sabina sembuh dari sakitnya. Ia masih bungkam akan asal-usulnya. Ia juga tidak mau ditolong oleh Fahri. Ia malah ingin kembali bebas tanpa merepotkan orang lain. Ia tak tahu bahwa dirinya masuk di headline koran kota. Ia sempat kaget saat Fahri menunjukkan beritanya melalui smartphone-nya. Fahri memintanya agar ia mau tinggal di rumahnya untuk beberapa hari. Jika tidak betah dirumahnya, maka ia akan mencarikan rumah kontrakan untuk Sabina. Ini demi kemaslahatan umat Islam.
Berita itu telah memperburuk citra umat Islam. Fahri memohon atas nama seluruh umat Islam di negeri itu. Memang sudah menjadi kewajiban umat muslim lainnya untuk mengurus muslim yang berkekurangan. Itulah sebabnya dalam Islam diwajibkan untuk berzakat. Bukan hanya zakat fitrah sebagaimana umumnya orang-orang banyak mengetahui. Tapi ada juga zakat maal atau zakat harta yang harus dibayar dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Artinya harta yang dikeluarkan untuk zakat tidak akan membuatnya jatuh miskin, karena hanya diambil dua koma lima persen saja dari penghasilan bersih.
Atas alasan itu semua, Sabina mau menerima tawaran Fahri untuk tinggal di rumahnya. Sabina juga berpesan agar dimintakan maaf kepada seluruh umat Islam yang ada negeri itu. Banyak sekali hal janggal yang terjadi selama Sabina tinggal di rumah Fahri. Seperti menyiapkan hidangan makanan yang menjadi menu kesukaan Fahri. Ia selalu bertanya dalam hati, darimana Sabina tahu cara memasak makanan Indonesia dan tahu apa seleranya. Hingga suatu hari ia melihat keimanan Sabina yang luar biasa. Saat ia di ganggu oleh orang asing yang hendak memperkosanya. Kalimat yang keluar dari mulut Sabina itulah yang menggetarkan hati Fahri, yaitu jika Rasul dan Agamanya dihina maka ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk membela agama. Fahri berhasil melerai aksi orang asing itu hingga sekarat, baik Fahri maupun Sabina.
Atas keimanan yang dimiliki Sabina itu, Fahri memintanya untuk menjadi istrinya. Namun Sabina menolak dengan dalih bahwa ia begitu tidak pantas menerima tawaran itu karena muka buruk yang dimilikinya hanya akan menjadi aib bagi Fahri. Berulang kali Fahri membalas alasan itu dengan mengatakan bahwa keadaan wajah bukanlah tolak ukur, tapi keimananlah yang menjadi pertimbangan. Di akhir cerita buku ini barulah ketahuan bahwa Sabina itu adalah Aisha yang selama ini dicari-carinya hingga ia menderita lahir bathin karenanya.
Ia melihat tanda lahir di punggungnya. Hanya itu bukti otentik yang bisa ia buktikan. Sabina tak dapat lagi mengelak dari kenyataan bahwa dirinya adalah Aisha. Ia menceritakan pengalaman tragisnya mengapa sampai wajahnya buruk seperti itu. Fahri menangis, menyesal tidak menjaga istrinya kala itu. Cinta bersemi kembali. kerinduan membuncah menyentuh yang dirindu. Tasbih, hamdalah dan dzikir sebagai ucapan syukur mereka wiridkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H