Ini pengalaman pribadi, dan mungkin bisa bervariasi pada tiap peserta yang 'selamat' sampai ke tahap ujian wawancara. Di hari penting itu, saya datang lebih awal (terlalu awal malah) ke kedutaan Jepang untuk mengikuti ujian wawancara. Kebetulan pada saat yang sama, ada test tertulis untuk monbusho lulusan SMA, jadi banyak peserta (umumnya ABG) antre di depan kedutaan.
Suasananya agak hiruk-pikuk, sampai petugas security perlu mengecek tampang saya beberapa kali sebelum memastikan kalau saya adalah peserta untuk tingkat research student, bukan SMA (Alhamdulillah Yaa Allah, tampang saya masih sulit dibedakan dengan anak SMA).Â
Setelah diarahkan petugas ke pintu masuk yang berbeda dengan peserta SMA, saya sampai ke satu ruangan yang mirip ruang tamu. Karena kepagian, saya pun dipersilakan menunggu di ruang bersofa tersebut sebelum wawancara dimulai. Selang beberapa menit kemudian, ada beberapa orang yang juga masuk, kelihatannya tamu kedutaan. Saya mulai celingak-celinguk, ngeliatin apa ada peserta wawancara lainnya.
Tak lama kemudian, seorang pria tampan masuk ke ruangan dan dengan ramah menyapa saya. Karena sama-sama berpakaian batik, kami pun ngobrol santai tentang keperluan masing-masing. Saya sempat ditanya-tanya kenapa ikut beasiswa monbusho, kenapa bisa nggak lulus seleksi sampai 4 kali, lulusan universitas mana, apa tema riset saya dan lain-lain.
Saya baru mulai ngeh ketika pria itu mengaku sebagai dosen ITB dan beliau enggan ditanyai mengenai keperluannya datang ke kedutaan. Benar saja, ketika saya dipanggil wawancara, ternyata bapak tersebut adalah salah satu pewawancara saya. Dan entah, mungkin karena sudah 'diwawancarai' sebelumnya, proses ujian wawancara saya jadi jauh lebih santai dan lancar.Â
Pelajaran moralnya: Bila ingin wawancara lancar, datanglah lebih pagi ke lokasi ujian. Jangan lupa pakai batik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H