Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Tak Butuh Pemecah

15 Desember 2022   03:52 Diperbarui: 15 Desember 2022   04:05 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara kita dikenal sebagai negara besar; yaitu negara besar dengan luas dan jumlah penduduk yang besar pula. Ada 260 jiwa yang merupakan penduduk Indoensia dan 87,5 % diantaranya adalah umat muslim. Jadi jangan heran jika negaa kita dijuluki negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Namun yang jadi pembeda dengan negara mayoritas muslim lain seperti beberapa negara di Timur Tengah bahkan Afrika, adalah negara kita bukan negara agama. Dasar dan bentuk negara kita bukan berdasar syariat Islam. Kenapa?

Karena Indonesia terbentuk dengan berbagai perbedaan. Negara dengan bentangan luas dari Sabang sampai Merauke. Dengan bentangan yang seperti itu, tentu berpengaruh dengan bermacam pola penduduk, termasuk etni, warna kulit dan bahasa yang berkembang dengan baik. Itu sebabnya kenapa Indoensia tidak berdasar syariat Islam meski punya penduduk muslim yang banyak. Keputusan kenegaraan ini harus kita hormati sampai sekarang.

Dengan melihat fakta itu kita sebagai warga Indonesia (dan perlu juga diketahui dunia) bahwa sejatinya tidak ada hal yang menganggu umat Islam, dan umat lainnya. Sejak awal kemerdekaan sampai pada sekitar dua decade lalu, semua umat dengan berbagai keyakinan sibuk berjuang mengisi kemerdekaan.

Hanya saja pasca reformasi dan banyak hal berubah, ada sebagian kalangan yang menganggap negara kita salah arah. Mereka yakin bahwa dasar negara seharusnya syariat Islam dan bukan Pancasila. Mereka juga yakin bahwa NKRI bukan bentuk yang tepat, mereka menunjuk negara Islam atau kekhalifahan sebagai bentuk yang tepat untuk negara dengan mayoritas muslim ini.

Tak hanya itu, intoleransi, radikalisme dan terorisme meningkat sejak amsa itu. Tentu kita ingat Bom Bli 1 dan 2 serta puluhan bom lainnya yang membuat warga saling curiga. Toleransi yang sudah terbentuk sejak sebelum kemerdekaan terkikis oleh sebagian orang yang menjauhkan warga dengan warga lainnya. Orang kian akrab dengan kata kafir, jihad dan thogut dan menuding bahwa bangs akita salah arah.

Sebagian terlena dengan itu. Sebagian tidak dan tetap melanjutkan kerja-kerja memperkuat kebangsaan, ekonomi dan sosial. Sikap inilah yang harus kita perkuat untuk ke depan dan selamanya.

Indonesia tidak butuh pemecah yang mengatas namakan agama. Indonesia butuh semangat persatuan untuk menghadapi tantangan yang lebih berat ke depan, seperti ekonomi , ktimpangan sosial dan ancaman geopolitik dan geostrategi tingkat global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun