Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peka dan Kritislah terhadap Narasi Intoleran

1 Juli 2022   20:55 Diperbarui: 1 Juli 2022   21:00 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua decade ini kita berhadapan dengan zaman yang berubah. Kita masih ingat pada sekitar awal 2000-an kita harus mengubah beberapa system pada internet karena pada masa itu beberapa system diubah secara global. Sehingga kita harus mengikutinya.

Perubahan dan kemajuan teknologi itu kemudian diikuti dengan kemajuan dan kebebasan terhadap informasi. Kita tahu sebelum era 2000 kita berada pada suatu masa dimana informasi sangat dibatasi dan kebebasan berpendapat ada pada tataran minimal. Sehingga kondisi bebas dan lepas dari berbagai tekanan sangat dinikmati oleh banyak orang.

Hanya saja, kondisi seperti ini juga dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memelintir beberapa persoalan. Salah satunya adalah agama. Para pemerintir itu memanfaatkannya baik di media sosial maupun di banyak pertemuan offline diantaranya saat di mimbar masjid. Mereka membawa faham transnasional dalam ceramahnya.

Banyak umat yang tidak paham itu sehingga paham itu mereka terima sebagai tambahan ilmu agama tanpa tahu bahwa ajaran itu menyimpang karena sebelumnya dipelintir.  Itu terjadi cukup lama disamping itu bisa dikatakan bahwa terjadi semacam " kekosongan"  pada ideologi negara karena factor kepemimpinan nasional.

Sehingga kita bisa lihat sekarang, baik secara fakta dengan kasat mata bahwa banyak sekali penceramah yang memberikan materi agama yang menyimpang. Beberapa dari mereka bahkan menafikan Pancasila dan berpendapat bahwa Indonesia cocok dengan kekhilafhan karena sebagian besar warga negara adalah muslim.

Beberapa penelitian juga menemukan bahwa banyak masjid bahkan masjid di BUMN (Lembaga Milik negara) yang ceramah agama pada saat salat masjid kerap menyebarkan hal-hal bersifat mengabaikan perbedaan meski secara formal mereka mengakui Pancasila sebagai filosofi negara, namun sebenarnya mereka tidak benar-benar mengakuinya.  Sehingga tidak heran kesimpulan berbagai penelitian itu adalah penceramah A atau masjid A, mengarah ke ajaran intoleran bahkan radikal.

Keberagaman adalah suatu kondisi masyarakat di mana terdapat banyak perbedaan dalam berbagai bidang, seperti suku, bangsa, ras, keyakinan, dan antar golongan. Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus diimbangi dengan sikap toleransi warganya untuk mempertahakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah yang harus dipegang oleh seluruh warga Indonesia.

Karena itu kita harus tetap menjaga marwah agama dengan benar tanpa penyimpangan-penyimpangan. Kita harus selalu peka terhadap ajaran yang diberikan oleh ulama sekalipun. Jika menyimpang kita perlu mencari second opinion entah dari ulama lainnya atau dengan mencarinya di berbagai sumber.

Dengan begitu, inshaallah kita bisa terbebas dari ancaman intoleransi maupun radikalisme

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun