Dua tahun lalu, Menteri Ristekdikti (kementrian lama) mengatakan bahwa beberapa dosen perguruan tinggi di Semarang, Surabaya, Bandung dan Solo ditemukan berpaham radikal dan hendak mengubah ideology Pancasila dan anti NKRI.
Beberapa waktu kemudian seorang pejabat dari instansi berwenang soal terorisme juga menyatakan kontenyang kurang lebih sama dengan menteri tersebut malah tidak menyebut nama universitasnya.Â
Dia mengatakan bahwa intoleransi dan radikalisme sudah masuk ke beberapa kampus melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kerohanian Islam. Mereka cenderng vocal melontarkan hal-halyang berbau intoleran dan radikal.
Sontak banyak pihak merasa gerah dengan ucapan Menteri dan pejabat tersebut dan memberikan beberapa reaksi . Reaksi paling keras dari salah satu perguruan tinggi yang merasa pejabat tadi berlebihan dalam mengemukakan keterlibatan (atau paling tidak simpati) beberapa bagiannya kepada faham radikal. Mereka sampai melakukan konferensi pers untuk menepis anggapan itu.
Pada kenyataannya, suka atau tidak suka memang banyak bagian dari kampus yang terpapar intoleransi sampai radikalisme. Memang tidak terlihat sebagai halyang radikal.Â
Tapi faham intoleransi atau apapun namanya adalah hal yang berbeda dari hal yang kita alami dan kerjakan sekarang, yaitu bergaul dengan kelompok yang berbeda suku, agama dan ras. Memberi pertolongan kepada siapa saja dan bersikap ramah kepada mereka.
Intoleransi, menghentikan nyaris semua sikap elok itu karena dalam faham intoleran seseorang dilarang bersimpati kepada pihak lainyang berbeda dengan mereka semisal berbeda agama, ras dan berbeda etnis.
Malah ada seorang mahasiswa yang tidak lagi akrab dengan ayah ibunya karena ortunya tidak menganut faham yang seperti anaknya tersebut.
Fenomena ini tentu saja merupakan hal yang tidak semestinya terjadi pada dunia pendidikan dan masa depan kita sebagai bangsa. Karena sebenarnya pendidikan adalah pintu dimana akal budi terbuka lebar dan ditanamkan sejak dini.Â
Sehingga jika akal budi itu dikenalkan sejak dini maka akan menghasilkan anak-anak berbudi tidak saja pada lingkungan terdekatnya tapi juga kepada masyarakat luas dan negara.
Begitu juga dengan mereka yang ingin mengubah faham Pancasila dengan faham agama tertentu adalah salah satu indicator dimana intoleransi kian kuat ada di sekeliling kita.
Seharusnya perdebatan tentang ideologi Pancasila dan NKRI telah final, dan tugas civitas academica adalah menafsirkannya secara kontekstual sesuai dengan tantangan zaman, sehingga ideologi Pancasila dapat adaptif merespons kemajuan zaman.
Karena itu ada baiknya kita merawat keberagaman dan falsafah Pancasila sebagai satu-satunya azas yang bisa memperkuat kita soal keberagaman dan toleransi.Â
Ini harus tertanam subur di ladang bangsa kita dalam hal ini ladang pendidikan. Dengan tumbuh suburnya toleransi maka kita akan lebih kuat sebagai bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI