Menjelang tanggal 22 Mei dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang menyiapkan penetapan pemenang Pilpres yang diadakan April lalu, datang banyak ajakan di inimasa soal akan digerakkannya people power yang ditengarai akan membuat kekacauan setelah KPU menetapkan siapa pemenang Pipres.
Alhasil KPU mengumumkan pemenang pemilu pada tgl 22 Mei dini hari saat sebagain besar masyarakat terlelap istirahat. Langkah ini tak pelak membawa rumor bahwa KPU dalam bayang bayang pemerintah karena seakan menghindari people power yang akan digerakkan pada tgl 22 Mei. Padahal sebagai penyelenggara pemilu --program negara yang menelan biaya sekitar 25 Trilyun- pekerjaan KPU jauh dari tekanan siapapun karena lembaga ini independen terkait dengan tugas yang diembannya.
Demo anarkisme (merusak) mulai berlangsung pada 21 sore dan dilanjutkan malam dan sesuai dengan rancangan sang provokator, pecah pada tgl 22 Mei di mana di beberapa titik berlangsung konsentrasi massa yang bersenjatakan batu dan terlihat akan melawan aparat keamanan yang berjaga-jaga menjaga situasi.
Dam kekacauan pun berlangsung, masyarakat itu dan melawan aparat masing- masing di depan Bawaslu di jalan Thamrin , Di Slipi dan dan Petamburan. Pembakaran puluhan mobil berlangsung di tempat parkir markas Brimob di Petamburan, tak jauh dari markas FPI. Massa yang berkumpul terlihat mulai melempari aparat yang menjaga situasi dengan batu.
Begitu juga yang terjadi di depan Bawaslu di Jalan Thamrin. Batu berterbangan menuju petugas, juga kembang api, flare dan petasan. Tembakan water canon dan gas air mata yang dilakukan aparat yang bertugas menegakkan hukum dan menjaga situasi normal menjadi tugas aparat. Situasi seakan dibuat mirip dengan 1998 tetapi tidak berhasil menemukan puncaknya.
Situasi saat peristiwa 1998 dan 2019 sangat berbeda. 1998 adalah benar-benar situasi people powerlah yang bekerja karena ketidakpuasan itu ada dari hati untuk melawan rezim Soeharto yang saat itu sudah berkuasa hampir 32 tahun lamanya. Saat itu kemarahan masyarakat sudah bertumpuk puluhan tahun lamanya dan mahasiswa sering harus menelan represi dari pemerintah selama belasan tahun juga.
Sedangkan narasi yang ingin diangkat pada peristiwa 22 Mei 2019 adalah kekalahan salah satu Paslon peserta Pilpres dan pihaknya tidak menerima. Celakanya demi itu semua pihaknya mengatasnakan umat Islam. Begitu juga dengan demo yang terjadi 22 Mei lalu itu sebagian besar juga mengatasnamakan umat Islam.
Padahal yang terjadi sesuangguhnya bukan aspirasi dari umat Isam dan tidak ada hubungannya dengan jihad yang selama ini didengungkan.
Beberapa teori dalam literatur menyebutkan bahwa kemarahan adalah ungkapan jiwa yang sepi. Dan kekerasan atau anarkis adalah cerminan jiwa yang miskin. Jika jiwa kita kaya maka kita akan penuh dengan berbagai kreativitas dan menimbukan sikap positif dan produktif.
Jadi jangan terjerembab pada narasi salah soal islam jihad dan akhirnya terakumulasi pada anarkisme. Jiwa positif dan kaya akan penuh dengan kreatifitas dan kerja-kerja yang mengandung perasaan optimistis.
Mari berbaik sangka pada negara dan sekitar kita. Demi generasi muda kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H