Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Waspada, Hoax Terus Menebarkan Kebencian

18 Januari 2017   09:03 Diperbarui: 18 Januari 2017   09:08 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam politik, Anda bebas untuk menentukan pilihan. Karena demikianlah jaminan konstitusi melalui Undang-Undang Dasar 1945. Namun, jika kebebasan tersebut digunakan untuk membangun kebencian di atas laten yang sudah ada dalam sejarah, maka itu sama sekali bukan kebebasan. Itu, dalam bahasa yang paling mutakhir, adalah hoax.

Dan hoax sebenarnya adalah barang baru bagi kita di Indonesia. Segala sesuatu yang baru, apalagi mudah pula diakses oleh publik, akan menimbulkan reaksi yang baru pula. Semua itu wajar terjadi. Asalkan kita sadar bahwa apa yang kita alami itu adalah hal yang baru.

Anda mungkin masih ingat menjelang akhir tahun lalu seorang pendiri Teman Ahok – organisasi pendukung Gubernur DKI Jakarta sekaligus kontestan Pilkada DKI Jakarta 2017 Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok – bernama Amalia Ayuningtyas, dituding mengenakan jilbab hanya untuk kampanye Ahok. Tudingan ini, dengan jelas mengarahkan bahwa jilbab, sebagai lambang Islam, disalahgunakan oleh pendukung Ahok yang pada saat itu dianggap sebagai penista agama.

Dalam sebuah meme yang tersebar secara viral, Amalia ditampilkan tanpa menggunakan jilbab sedang berpotret di Singapura. Tulisan dalam huruf kapital di atas foto tersebut berbunyi “Bahwa Amalia Ayuningtyas adalah pemakan babi itu benar adanya. Berhijab hanya untuk mengelabuhi mayoritas muslim dan muslimah.”

Belakangan muncul suara bahwa orang yang ada di potret itu bukanlah Amalia. Dan, dengan sendirinya kita menerima fenomena seperti ini sebagai hoax. Ketika Anda berhadapan dengan hal seperti ini, yang perlu dilakukan adalah jangan terpancing pada isu apakah Anda pendukung Ahok atau penentang Ahok. Hoax seperti ini sengaja mendorong orang untuk berada di salah satu kutub, penentang Ahok atau pendukung Ahok. Dasar argumen yang digunakan untuk menjadi penentang atau pendukung sangat jelas: Islam.

Dengan sendirinya, Anda didorong untuk menempatkan diri sebagai masyarakat Islam yang menentang Ahok karena dia adalah non-muslim dan dianggap sebagai penista agama. Sekali lagi, ini bukan soal Ahok, tetapi soal menggunakan agama sebagai kebencian. Karena di Indonesia, hoaxseperti ini tidak hanya menyentuh Ahok sebagai pribadi. Ahok hanyalah simbol, yang merasa tersasar adalah masyarakat non-muslim. Dan jika kita bicara soal non-muslim, bukankah hak-hak mereka dijamin dalam konstitusi?

Lebih dari itu, hoax menggunakan agama sebagai dasar argumen jelas lebih merupakan upaya memecah-belah. Dalam politik, ada tujuan pihak-pihak tertentu. Dan hoax adalah sebuah tindakan yang sangat tidak menghargai publik karena menganggap publik adalah orang bodoh yang gampang diperdaya. Tidak. Publik tidak bodoh dan tak bisa dikelabui.

Situasi kritis akibat hoax tersebut sudah berlalu. Pada akhirnya kita tahu bahwa kebohongan terlalu cepat lumer dalam dunia media sosial seperti yang kita rasakan saat ini. Kita terbawa suasana hanya karena fenomena ini baru dalam masyarakat kita. Propaganda atas nama agama memang sudah ada sejak lama. Tetapi dengan menggunakan hoax, baru masif dan menemukan momennya ketika Ahok dianggap sasaran yang tepat karena yang bersangkutan kebetulan keturunan etnis Cina dan non-muslim.

Di dunia Barat, media seperti Time menyebut berita bohong di sosial media massa di Indonesia berpotensi mematikan. Sejarah antikomunis, anti-Kristen, dan anti-Cina yang pernah ada bahkan sebelum internet dan media sosial ditemukan adalah bahan yang suatu saat bisa diungkit dan dimanipulasi menjadi kebohongan.

Dan hoax, atas nama agama, hanyalah menawarkan kebencian. Kita tidak perlu takut dengan hoax karena hoax telah menjadi makanan sehari-hari. Yang terpenting adalah kita tidak larut dalam kebencian tak berdasar yang hanya meminta kita menghambur-hamburkan energi untuk memedulikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun