Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyelerasan Persepsi Pencegahan Terorisme

9 Desember 2015   18:09 Diperbarui: 9 Desember 2015   18:17 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap terorisme sangatlah beragam, meskipun benang merahnya tetap satu, yaitu sebagai bentuk kejahatan multidimensional yang perlu ditanggulangi dengan serius. Mendengar sebutan kriminalnya yang multidimensional saja, pikiran pun langsung tertuju pada bayangan bahwa masalah yang ditimbulkan oleh terorisme berdampak ke banyak hal. Tidak heran jika kemudian muncul beragam persepsi mengenainya.

Persepsi umum yang muncul di benak masyarakat adalah bahwa terorisme merupakan ancaman teror bom. Persepsi tersebut muncul lantaran sejarah aksi teror di Indonesia bisa dikatakan semuanya berbentuk teror bom, di mana mayoritas ditujukan kepada lokasi-lokasi berbau Barat. Mengapa yang berbau Barat menjadi sasaran terorisme? Alasan yang banyak diklaim oleh kelompok terorisme di tanah air adalah sebagai bentuk solidaritas terhadap keberadaan pihak-pihak Barat (lebih tepatnya para ras kaukasoid yang dominan, seperti para negara Sekutu) yang banyak campur tangan di kawasan Timur Tengah yang menjadi negara asal mayoritas kelompok terorisme yang eksis saat ini.

Hal di atas telah menunjukkan satu persepsi mengenai terorisme, yakni berupa anggapan bahwa target sasarannya hanyalah lokasi-lokasi yang dianggap berbaur Barat. Mungkin jika ditilik dari sejarah aksi serangan bom di Indonesia, hal tersebut bisa jadi benar. Namun jika dilihat secara global dan juga bentuk ancaman terkini di tanah air, target sasaran terorisme sangatlah kompleks. Terorisme kini membawa serta ideologi khilafah yang digaungkan oleh ISIS, kelompok terorisme terbesar saat ini, bahwa dunia harus dipimpin oleh pemerintahan tunggal di bawah syariat Islam.

Lebih jauh, secara tidak sadar, bentuk ancaman terorisme saat ini yang berkiblat pada ISIS mendorong bangkitnya 'romansa' terhadap perjuangan pendirian negara Islam di Indonesia yang sempat menimbulkan gejolak di dekade awal pasca kemerdekaan. Akibatnya, ancaman terorisme di tanah air pun berkembang menjadi gangguan stabilitas negara.

Di sinilah kemudian muncul persepsi baru yang menyebut bahwa terorisme adalah bagian dari intrik politik di negeri ini. Terorisme kemudian dianggap kurang lebih seperti komunis, menjadikannya sebuah larangan bagi masyarakat untuk bersentuhan dengannya. Kriminalisasi pun kemudian disematkan kepada terorisme, terutama bagi terorisme yang mengatasnamakan agama, dalam hal ini Islam, seperti yang diusung oleh ISIS.

Bahkan, kriminalisasi tersebut sampai melibatkan seluruh instrumen pertahanan bangsa, di mana mengindikasikan bahwa terorisme adalah musuh negara, bukan lagi sebatas aksi kriminal. Lalu entah bagaimana ceritanya, muncul sikap paranoid terhadap aksi vokal dari kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama, entah dalam bentuk seruan langsung atau berbagi pemikiran.

Anggapan yang kemudian muncul adalah bahwa semua hal tersebht merupakan ancaman terorisme, sehingga lambat laun memperjelas kehadiran islamophobia di tengah masyarakat Indonesia. Sebuah ironi tentunya jika melihat mayoritas masyaraaat Indonesia adalah Muslim, namun muncul ketakutan terhadap aksi vokal yang mengatasnamakan Islam.

Islomophobia memang tengah mulai melanda masyarakat Indonesia, di mana contoh sederhananya dapat dilihat pada ketakutan kita yang muncul tanpa disadari ketika bertemu dengan Muslim yang tampak sangat religius. Harus diakui bahwa ada persepsi di benak masyarakat kita bahwa sosok yang teramat religius, apalagi ditambah dengan sikap jaga jarak, menimbulkan kesan eksklusif yang mendorong pengkotak-kotakkan kelompok masyarakat.

Sedihnya, mayoritas masyarakat pun kemudian menjustifikasi hal tersebut sebagai tuduhan keterlibatan dengan terorisme. Terdengar sangat kekanakan memang, tapi hal tersebut nyata terjadi. Kita secara tidak sadar membentuk opini sepihak mengenai kesatuan makna religius dengan terorisme, suatu hal yang tentu saja salah. Inilah mengapa persepsi masyarakat terhadap sangatlah kompleks.

Untuk itu, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perlu membuat sebuah wadah peleburan justifikasi terhadap terorisme di masyarakat, yakni berupa Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT). Forum ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengetahui secara bijak apa itu terorisme, seperti apa bentuk ancamannya, dan bagaimana cara mewaspadianya.

FKPT juga menjadi alat perpanjangan pemerintah untuk menyerukan penguatan persatuan bangsa guna menciptakan hidup damai di Indonesia. Lebih dari itu, FKPT juga menjadi ajang sosialisasi pencegahan dini terhadap terorisme yang diarahkan ke dalam bentuk penyeragaman persepsj berdasarkan prinsip Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun