Mohon tunggu...
Ardhani Reswari
Ardhani Reswari Mohon Tunggu... karyawan swasta -

just smile!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Takudar, Pemimpin Mongol Muslim Pertama

27 Maret 2013   18:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:07 2119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Cover Buku Takhta Awan"][/caption] Judul: Takhta Awan, buku kedua dari Tetralogi The Road to The Empire Kategori: Novel sastra, sejarah fiksi Tebal: 557 hal. Penulis: Sinta Yudisia Penerbit: Lingkar Pena Publishing House Tahun terbit: 2010 Buku kedua dari Trilogi The Road to The Empire ini membuat saya tak butuh pikir panjang untuk membelinya. Ketika mengetahui ini buku keduanya, saya langsung tertarik. Karena penulisnya telah memberikan kesan yang dalam kepada saya sewaktu membaca buku pertamanya. Pelan-pelan rasa penasaran itu muncul. Penasaran tentang bagaimana kelanjutan kisah Takudar, seorang Putra Mahkota yang takhtanya direbut sang Adik. Dalam buku ini, ia telah mencapai tampuk kekaisaran Mongolia saat itu. Sebelum saya menjabarkan sedikit kisah dalam buku ini, saya akan memberikan tautan untuk resensi buku pertamanya: http://ngintipkampus.wordpress.com/2009/06/26/road-to-the-empire/ yang dibuat oleh Uni Yuwelda Bachtiar.

Sinopsis

Pada buku keduanya ini, lebih banyak menceritakan tentang Takudar yang telah menjadi Kaisar. Para sahabat yang membantu perjuangannya dulu untuk merebut takhta yang menjadi haknya, telah kembali ke aktifitas masing-masing. Salah satu sahabatnya adalah Rasyiduddin, yang lebih memilih untuk tenggelam dalam lautan ilmu, pada sebuah madrasah peninggalan ayahnya, Baabussalaam. Sedangkan Putri Karadiza cukup bosan dengan kegiatannya sebagai pedagang di Jalur Sutra. Hal itu tak dapat terelakkan karena ia adalah salah seorang Putri bangsawan Tabriz. Penerus bisnis perdagangan milik ayahnya.

Ketika Takudar menjadi Kaisar Mongol, tercatatlah dalam sejarah bahwa ialah pemimpin Mongol muslim pertama sekaligus terakhir. Berbeda dengan kaisar sebelumnya, Takudar adalah tipe seorang pemimpin yang berhati lembut. Karena itulah, Takudar sering diejek para bangsawan karena tidak bertindak layaknya orang Mongol sejati.

Takudar lebih banyak mendatangkan syaikh dan guru dari Persia untuk mempelajari kitab-kitab. Selain itu, ia ingin menerapkan ilmu bercocok tanam, bertani juga pendidikan kepada rakyat Mongol. Padahal menurut pandangan beberapa menterinya, orang Mongol sejati adalah mereka yang menghimpun kekuatan untuk menginvasi wilayah-wilayah yang belum menjadi kekuasaan mereka.

Hal itu tentu saja bertentangan dengan keinginan hati sang Kaisar yang ingin menciptakan kesejahteraan pada rakyatnya melalui ilmu pengetahuan dan menghentikan peperangan. Apalagi dengan kemusliman Takudar yang membuat Dewan Kurultai memandangnya dengan sebelah mata. Karena sejarah tentang pertikaian kaum muslim dengan bangsa Mongol pada zaman Kubilai Khan, cukup menorehkan luka bagi kedua belah pihak.

Tugas berat bagi Takudar untuk merubah budaya bangsa Mongol. Apalagi tak ada lagi sahabat-sahabatnya yang mendampingi, mendukung juga memberi nasehat kala ia membutuhkannya. Ia merasa kesepian. Ia tidak bisa mantap dalam mengambil keputusan layaknya Arghun, kaisar terdahulu. Ia juga diliputi rasa ragu, siapakah yang dapat ia percaya, siapa pula yang hendak mencelakakannya. Mana yang amanah, dan mana yang berkhianat. Kelak, para sahabat Takudar akan kembali membantunya dalam sebuah pelarian.

Opini

Karakter dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam buku ini sangat kuat. Rasyiduddin yang mengabdikan dirinya untuk berkembangnya ilmu pengetahuan, juga memiliki loyalitas yang tinggi kepada sahabat sekaligus kaisarnya. Hal ini terbukti ketika di akhir cerita ia akan dibunuh oleh salah satu prajurit yang dipercaya Takudar, yang akhirnya ia berkhianat karena sebuah alasan.

Karakter lainnya adalah para syaikh yang saat itu berusia renta, namun pikiran dan tubuh tetap bugar. Hal itu ditopang oleh hati yang senantiasa berdzikir dan jiwa yang yang disumbangkan untuk kepentingan ummat.

Sinta Yudisia menuangkan kekhasan perempuan dalam buku ini. Menunjukkan keeksistensian jiwa perempuan dalam dirinya. Terbukti melalui deskripsinya tentang bagaimana seharusnya sifat seorang pemimpin. Pemimpin tidak hanya dibebani masalah besi sebagai persenjataan yang akan digunakan menghadapi musuh di medan perang. Pemimpin juga harus berpikir dan menemukan jalan keluar bagaimana setiap orang di bawahnya dapat mengangkat senjata dengan pakaian yang layak dan perut yang cukup kenyangnya.

Pemimpin juga harus memikirkan bagaimana hidup para istri prajuritnya, jika para suami akhirnya gugur di medan tempur. Jaminan hidup untuk para janda-kah? Atau kelanjutan hidup para anak-anaknya kelak? Menurut saya, beberapa hal penting inilah yang pada kenyataannya banyak yang luput dari perhitungan sang Pemimpin. Dan menurut saya yang lebih sering memikirkan hal seperti ini biasanya perempuan, karena itulah ciri khas perempuan, lebih detail dalam berpikir.

Dalam beberapa cerita, terdapat pula kisah yang membuat saya sebagai pembaca tersentak. Seperti kalimat berikut; “Saling berebut amanah paling besar, paling berbahaya, paling memerlukan banyak pengorbanan. Karena mereka yang cerdas akan berani memikul tugas agama yang paling berat. Begitu pepatah bijak berkata.” Saya merenungkan kaimat ini dalam-dalam saat membacanya.

Mereka yang diceritakan dalam kalimat yang saya kutip di atas, adalah para syaikh dan ulama pemberi sumbangsih ilmu pengetahuan. Mereka berdiskusi, namun pada akhirnya muncul titik temu siapa yang mengemban amanah paling besar itu. Walau yang paling ringan amanahnya merasa sedih, tapi ia tetap menerima keputusan dengan lapang dada dan berjiwa besar.

Sepakat dengan hasil diskusi yang semua orang setuju adalah hal yang jarang ditemui pada masa sekarang. Juga musyawarah, mufakat yang diterima dengan lapang di ranah kaum ulama. Saya jadi teringat perbedaan pendapat mengenai kapan jatuhnya tanggal 1 Syawal. Apalagi membandingkannya dengan adu tunjuk yang dilakukan oleh para (yang katanya) wakil rakyat di gedung Parlemen sana. Miris.

Novel ini sangat menarik dibaca, tapi ada beberapa kekecewaan bagi saya. Cerita ini dibuat seperti dikejar deadline. Tanggung. Tidak tuntas. Sepertinya maksud penulis ingin membuat rasa penasaran bagi pembaca untuk menantikan kisahnya di buku ketiga, Sneak Peek. Tapi menurut saya, buku ini ditutup dengan sebuah ketergesaan. Kisah pelarian Takudar kali ini pun belum tuntas. Padahal saya berharap akhir kisah Takudar di buku kedua ini membuat saya bernapas lega setelah membacanya, tapi itu tidak saya dapatkan.

Selain itu, karakter Takudar di buku kedua ini, tidak terlalu menonjol. Hanya dinarasikan saja melalui pendapat para sahabatnya yang sudah pasti menilainya baik, bagus dan cakap. Saya merasa kurang mendapatkan karakter Takudar sekuat karakternya di novel pertama. Mungkin novel ini sengaja dibuat untuk lebih banyak menceritakan kondisi para sahabatnya dan kondisi Takudar sebagai kaisar dan pengantar menuju novel ketiganya.

Secara garis besar, Sinta Yudisia adalah seorang penulis yang mampu menggabungkan berbagai polemik kehidupan, peperangan, peradaban dan perkembangan Islam di Asia Tengah pada tahun sekitar 1200-an Masehi. Hal itu tentu tak mudah dilakukan, mengingat sumber pengetahuan tentang kisah pemimpin muslim Mongol pertama ini jarang sekali ditemukan. Namun, melalui karyanya yang cemerlang, saya menilai, beliau layak menjadi Ketua FLP Jawa Timur.

Buku ini layak dibaca siapapun mulai dari remaja hingga dewasa dan bagi mereka yang menyukai Sejarah Fiksi. Akhirnya saya pun menanti kelanjutan kisah Takudar, seorang Kaisar muslim pertama di Mongol yang pada kenyataannya tak banyak dikenal oleh umat Islam.

Saya merasa berterimakasih kepada sang Penulis, karena dari buku inilah yang mendorong saya untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah Mongol berikut kaitannya dengan sejarah kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit. [Ardhani Reswari]

* Dari berbagai sumber

Berikut saya lampirkan Bonus, dimana bonus gambar/diagram di bawah ini akan saya jelaskan pada Mabuk (Majelis Buku) hari Jumat, 29 Maret di Salman Reading Corner, Jl. Ganesha no.6 Bandung. Dengan saya sebagai penyaji dari buku Takhta Awan ini. Bagi yang penasaran, silakan datang. Acaranya gratis dan terbuka untuk umum.

[caption id="attachment_244528" align="aligncenter" width="346" caption="silsilah Jengis Khan"]

1364382537950002901
1364382537950002901
[/caption] [caption id="attachment_244529" align="aligncenter" width="383" caption="Susunan Raja Jawa"]
1364382574549283989
1364382574549283989
[/caption] [caption id="attachment_244530" align="aligncenter" width="398" caption="Kerajaan Singasari dan Majapahit"]
13643826241080167961
13643826241080167961
[/caption] [caption id="attachment_244531" align="aligncenter" width="446" caption="Siapa Jayakatwang?"]
13643826701361129765
13643826701361129765
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun