Pada 1992, saya tiba di sebuah tanah yang begitu eksotis dan mempesona. Tepatnya di desa Nimbay, Prafi, Manokwari, Papua yang saat itu masih bernama Irian Jaya.Â
Ayah mendapatkan tugas bekerja di salah satu perusahaan perkebunan, sehingga kami pun ikut pindah ke sana.Â
Berpindah ke tempat yang begitu berbeda ini tentunya menjadi sebuah petualangan tersendiri bagi saya yang saat itu baru duduk di kelas 2 SD.Â
Namun, tak disangka pengalaman itu menjadi pengalaman paling berharga dan berkesan hingga saat ini.
Tak ada berita-berita seram tentang Papua sebagaimana saat ini yang sering diberitakan. Entah karena pada saat itu karena saya masih kanak-kanak sehingga tidak terlalu memperdulikannya atau bagaimana.
Sekolah saya di sana adalah sebuah SD Inpres. Saya dikejutkan dengan lingkungan baru, suasana baru, serta teman-teman baru yang saya temui.Â
Teman-teman saya kebanyakan adalah penduduk asli Papua, yang selalu ceria dan ramah. Sikap mereka yang hangat membuat saya cepat beradaptasi.
SD Inpres ini memiliki bangunan semi permanen. Ketika merindukannya, saya biasa membukanya di Google Map dan mendapati fotonya, tidak banyak yang berubah kecuali bangunannya yang kini telah permanen.
Begitupun disaat saya merindukan rumah masa kecil di Papua, seringkali saya mengandalkan Google Map untuk melihatnya walau hanya terlihat dari atas dengan citra satelit.
Saya belajar berenang di Papua. Bersama teman-teman, kami memilih kolam penampungan air di pabrik sebagai tempat latihan pertama. Airnya dingin namun menyegarkan.Â
Tak berapa lama, saya dan teman-teman mencoba berenang di sebuah sungai kecil yang oleh masyarakat setempat disebut 'kali gorong-gorong' karena alirannya memang melewati sebuah gorong-gorong yang  menyeberangi bawah jalan aspal.Â
Airnya jernih, sangat dalam, dan menjadi tempat bermain yang sering kami kunjungi sepulang sekolah.
Hampir setiap pekan bersama keluarga saya mengunjungi Pasir Putih yang terletak di kota Manokwari yang indah.Â
Pantai dengan pasir yang begitu putih dan air laut yang jernih. Tak jarang kami melintasi laut untuk menyeberang ke Pulau Mansinam, sebuah pulau kecil yang konon katanya tempat para misionaris pertama kali datang ke Papua.
Hutan di sekitar kebun kelapa sawit menjadi salah satu tempat petualangan favorit saya dan teman-teman. Alam di Papua sungguh indah, suara burung yang merdu dan sejuknya udara membuat kami selalu kembali kesana.
Di Papua, saya memiliki seekor kanguru kecil. Saya memberinya nama Bonie. Bonie sangat lincah, jinak, dan seringkali menjadi pusat perhatian saat saya membawanya bermain di luar rumah.
Oh ya, setahun sekali kami pulang ke Medan disaat momen lebaran. Perjalanan kami biasanya menggunakan kapal selama lebih kurang lima hari perjalanan baik menggunakan kapal Dobonsolo ataupun Ciremai.Â
Biasanya bersama ibu dan adik-adik kami pulang ke Medan sebelum bulan puasa hingga tiga atau empat bulan lamanya setelah lebaran.
Ketika SD, saya sering berpindah sekolah dari Papua ke Medan untuk beberapa bulan lamanya hingga kemudian kembali ke Papua.
Pada tahun 1996, kami sekeluarga harus meninggalkan Papua karena mengikuti kepindahan ayah dalam bertugas. Lebih kurang sekitar lima tahun kami di Papua.Â
Pada saat pindah, hati saya penuh dengan kenangan indah di Papua.Â
Sebuah tempat yang telah memberi banyak pelajaran dan pengalaman tak terlupakan dalam hidup saya.Â
Walaupun sekarang tak lagi di sana, bagian dari hati saya akan selalu tertinggal di Papua, tempat masa kecil yang begitu berarti.
Inilah sedikit diari saya tentang Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H