Pada tengah libur lebaran, akun resmi media sosial Pemerintah Kabupaten (PemKab) Bantul membagikan informasi tarif parkir kendaraan, diikuti pengumuman kenaikan tarif retribusi wisata. Tarif parkir di area wisata telah diatur pada Peraturan Daerah (Perda) Bantul Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, namun baru gencar disosialisasikan pada momentum libur lebaran 2024. Masyarakat memperoleh edukasi bahwa terdapat perbedaan tarif parkir antara destinasi pariwisata dan tempat umum non-wisata.
Tarif parkir di luar objek wisata sebesar Rp1.000 untuk sepeda, Rp2.000 untuk sepeda motor, Rp3.000 untuk kendaraan beroda tiga atau kendaraan beroda empat. Kendaraan bermotor beroda 6 sebesar Rp5.000 dan kendaraan bermotor lebih dari 6 roda senilai Rp10.000. Sedangkan, tarif parkir di objek wisata untuk sepeda Rp1.000, sepeda motor Rp5.000, kendaraan bermotor roda tiga atau empat Rp10.000, kendaraan roda enam Rp20.000, dan kendaraan dengan roda lebih enam Rp30.000.
Konon, penegasan tarif parkir tersebut diperuntukkan menjawab kegelisahan wisatawan yang kerap kali dikenai tarif tinggi dengan alasan musim liburan. Bahkan, PemKab Bantul menyediakan hotline pengaduan bagi wisatawan yang dipaksa membayar jasa parkir dengan nominal besar. Tentu telah diketahui oleh publik bahwa lonjakan jumlah pengunjung destinasi wisata akan dimanfaatkan penyedia jasa parkir untuk menaikkan tarifnya. Namun, bukan berarti isu tersebut selesai dengan ketersediaan regulasi tarif baru.
Implementasi peraturan tarif parkir di destinasi wisata tidak sepenuhnya bersambut kelegaan bagi masyarakat. Barangkali betul, pada wisatawan dari luar daerah sangat senang dengan tarif parkir mobil yang tidak lagi menyentuh angka tiga puluh hingga lima puluh ribu. Akan tetapi, perlu diingat bahwa sesungguhnya mereka hanya datang sesekali saja. Sebaliknya, warga asli daerah justru memiliki tantangan tersendiri ketika hendak berwisata di destinasi yang sesungguhnya masih merupakan tanah kelahirannya. Warga Kulon Progo ketika hendak berbelanja di kawasan Malioboro, misalnya, harus membayar tarif parkir wisata layaknya 'orang jauh'.
Tak hanya soal bayar parkir, masyarakat pun dipaksa menerima kenyataan bahwa untuk sekadar berwisata menikmati keindahan alam, dirinya perlu membayar retribusi kepada negara. PemKab Bantul melalui Peraturan Bupati Bantul Nomor 23 Tahun 2024 tentang Tarif Retribusi Jasa Usaha atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga telah menginformasikan bahwa per 1 Mei 2024 akan diberlakukan tarif retribusi wisata terbaru.
Perubahan tarif berlaku untuk Pantai Parangtritis, Pantai Depok, Pantai Baros, Pantai Samas, Pantai Pandansari, Pantai Goa Cemara, Pantai Patehan, Pantai Cangkring, Pantai Kwaru, Pantai Baru, dan Pantai Pandansimo menjadi Rp14.500 ditambah asuransi Rp500 per orang. Sedangkan untuk Kawasan Goa Selarong dan Goa Cerme menjadi Rp9.500 ditambah asuransi Rp500 per orang. Kaum klas menengah barangkali menjerit melihat kenyataan modal awal yang harus disiapkan untuk menikmati pesisir selatan.
Para pengguna motor bebek yang tidak memiliki sumber keuangan tetap, atau pekerja bergaji tarif UMR DIY akan semakin berhitung untuk pergi ke pantai. Dibutuhkan dana lima belas hingga dua puluh ribu rupiah, hanya untuk duduk-duduk di atas pasir. Jika ia datang dari pusat kota, setidaknya membutuhkan bensin sebanyak sepuluh hingga dua belas ribu rupiah. Biayanya setara dengan satu bahkan dua porsi makan besar untuk tubuhnya agar bisa bertahan hidup. Tentu tidak salah jika dikatakan uang yang mengalir ke kas negara melalui retribusi wisata tersebut telah merampas hak warga negara dalam memperoleh makanan, sumber penghidupan.
Sementara itu, keagungan alam pesisir, bukit, lembah, atau gunung diciptakan oleh Tuhan, bukan hanya oleh kerja-kerja sistem kenegaraan. Para pemimpin publik diberikan amanah agar mengelolanya dengan baik, bukan mempersulit sesama manusia dalam memperoleh haknya menikmati karya Sang Pencipta. Apalagi, setiap warga negara, sekalipun dari kalangan dengan pendapatan rendah, dirinya tetap telah berperan dalam memutar perekonomian daerah dan negara.
Besaran tarif retribusi wisata sebaiknya dikaji ulang agar wisata, terlebih wisata alam, mampu menjadi ruang yang inklusif. Rasa lelah warga dalam berkontribusi pada perputaran ekonomi memerlukan kesempatan untuk memulihkan energi. Telah tersebar pada publik mengenai pemaknaan wisata dengan diksi healing yang merepresentasi kebutuhan memulihkan tenaga untuk bekerja. Jangan sampai tarif retribusi pariwisata justru memusingkan warga, hingga membatalkan niatnya untuk berwisata.
Pembatalan demi pembatalan kunjungan oleh para calon wisatawan pasti pula berdampak pada perputaran ekonomi di kawasan pariwisata. Para penyedia barang dan jasa pariwisata menjadi kehilangan sumber pendapatan mereka. Bukan hanya disebabkan oleh berkurangnya pengunjung, akan tetapi juga gaya wisata yang menjadi berubah. Wisatawan yang telah membayar tinggi ke kas negara akan berusaha berhemat agar tak mengeluarkan dana untuk produk dan jasa wisata yang disediakan warga. Daya beli pun menjadi menurun. Pada titik ini, para pelaku wisata memiliki ancaman untuk gulung tikar.
Pelaku wisata yang sebagian besar pasti terdiri atas warga setempat suatu kawasan wisata, justru kehilangan ladang rejekinya. Padahal, mereka itulah yang secara langsung merawat eksistensi kepariwisataan. Namun, ternyata peluhnya justru lebih banyak mengalirkan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan, alih-alih menunjang kemandirian ekonomi masyarakat. Suatu potret yang cukup ironis.
Selain perlu dikaji ulang mengenai dasar perhitungan tarif retribusi wisata, sebaiknya pemerintah segera melakukan evaluasi berbasis penelitian ilmiah mengenai dampak adanya kenaikan tarif wisata. Sehingga, kebijakan retribusi wisata berjalan dengan bijak, dan bukan sekadar strategi untuk meningkatkan pendapatan--pemerintah--suatu daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H