Mohon tunggu...
Ardha Kesuma
Ardha Kesuma Mohon Tunggu... Relawan - sesukasukaku

Ardha Kesuma, perempuan pencerita di Ruang Renjana Podcast yang selalu jatuh hati pada Ibu Bumi. Berupaya menerapkan gaya hidup minimalis, tidak memakan olahan dari binatang, selalu menghabiskan isi piringnya, mengumpulkan sampah plastik pribadi untuk dibawa ke tempat pengolahan sampah. Sejak 2017 merawat kehidupan melalui gerakan lingkungan dan literasi. Untuk keperluan terkait tulis-menulis, lingkungan, dan literasi, bisa menghubungi via email ardhakesuma@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Benci Malam Minggu

13 September 2020   14:41 Diperbarui: 13 September 2020   14:51 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amore Resto Karimun Jawa (dok pribadi)

"Sejak kamu membuka apa yang kamu sebut sebagai rahasiamu itu, aku merasa berat untuk melanjutkan kita", suatu malam Minggu kekasihku -oh mantan kekasihku lebih tepatnya- menyatakan kami harus putus hubungan.

Itu bukan satu-satunya alasan kenapa aku benci malam Minggu. Jauh dari saat itu, ada banyak hari Sabtu yang harus kujalani dengan benci. Rasanya ingin merayakan sepanjang Sabtu sampai Minggu di tempat-tempat yang riuh, bukan di rumah yang sepi dan hanya terdengar suara milik ayah dan ibu. Sayang, aku waktu itu hanya anak sekolahan yang gak punya kelebihan uang jajan untuk bekal berkeliaran malam.

Setiap kali langit Sabtu sudah keemasan, aku selalu saja dihantui rasa gelisah. Harap-harap cemas melepas pulangnya asisten rumah tangga sekaligus menyambut ayah dan ibu yang pulang dari kantornya masing-masing. Sepasang kekasih itu selalu pulang tepat waktu setiap kali malam Minggu. Mereka juga terlihat lebih segar dan bersemangat. Aku memang aneh, seharusnya aku senang memiliki ayah dan ibu yang rukun. Tapi, malam Minggu mengajariku sebaliknya.

Hal itu bermula pada masa-masa aku akan ujian akhir Sekolah Dasar. Keadaan "kebanyakan les kurang main" sempat membuat tubuhku jatuh sakit. Malam Minggu kala itu aku tidur lebih awal berkah obat demam yang diberikan oleh ibu. Sayang, obat itu gak berfungsi sebagai obat tidur secara maksimal. Aku terbangun dan menjadi terjaga di tengah malam. Ide untuk tidur bersama ayah-ibu pun muncul. Tanpa pikir panjang, aku berniat beralih ke kamar mereka yang ternyata pintunya setengah terbuka. Yang ternyata pintu itu pula lah pengubah perasaanku terhadap orang tuaku.

Usiaku yang baru sepuluh sudah jadi saksi momen-momen bercinta sepasang orang tuaku. Sejak malam Minggu itu, aku menjadi sering terbangun tengah malam dan menyaksikan mereka berhubungan seksual. Kadang desahan ibu terdengar nikmat, sesekali terdengar jeritan tertahan karena sakit. Ayah lebih sering memperdengarkan nafas kecapekan. Awalnya aku sengaja menilik mereka dari balik pintu. Lama kelamaan aku menjadi bosan dan muncul rasa dikhianati. Aku disuruh tidur sendirian bahkan ketika sakit, sedangkan malah mereka bersenang-senang. Wajar bukan kalo aku kesal?

Kumpulan rasa kesal itu kemudian jadi rasa penasaran. Apa yang membuat ayah dan ibu selalu melakukan kegiatan itu setiap malam Minggu? Memang rasanya seperti apa?

Aku tumbuh sebagai remaja diiringi rasa penasaran nikmatnya berhubungan seksual. Bersamaan itu pula, lambat laun aku menemukan seseorang yang kami pikir kami saling jatuh cinta. Aku bercerita pada laki-laki itu tentang dugaanku kalo dua orang yang saling jatuh cinta artinya harus bercinta juga. Si pacar pertamaku setuju.

Masa-masa sekolah SMA aku sudah gak penasaran lagi soal apa yang dikerjakan ayah dan ibu. Aku punya pacar dan bisa berhubungan seksual setiap kali ayah dan ibu berkabar lembur kerja. Malam-malam Minggu selanjutnya aku sudah gak pernah bangun tengah malam karena gangguan dari kamar sebelah. Aku tidur nyenyak.

***

Belakangan, saat aku sekolah di perguruan tinggi dan bertemu dengan lebih banyak kawan laki-laki, aku merasa diserang rasa penasaran yang baru, seperti perkiraan apakah hubungan seksual ayah dan ibu hanya oleh mereka berdua saja, atau jangan-jangan (?). Ahh berkat rasa penasaran itu aku jadi bosan dengan pacar pertamaku. Belum lagi perasaan kagum terhadap kawan-kawan baruku yang ganteng dan pintar. Aku jatuh cinta lagi. Itu artinya, aku harus bercinta lagi. Begitu terus. Sampai aku benar-benar lelah menjadi mahasiswi idolanya kaum laki-laki di kampusku.

***

Aku masih benci malam Minggu.

Hari-hariku di dunia kerja juga gak jauh berbeda. Hanya saja, berlaku pada seorang. Semenjak kenal gaji, aku jadi lebih memikirkan hasrat terhadap uang daripada cinta dan bercintanya. Jangan-jangan ibu rutin menuruti keinginan bercintanya ayah hanya karena gaji ayah yang tiga kali lipat lebih besar? Atau gara-gara ayah mampu memberinya rumah bagus dan menghadiahinya mobil mewah? Wah! Aku harus pikirkan hal itu juga untuk diriku.

Cukup seorang saja untuk mencukupi kebutuhan seksualku dan tentu saja memenuhi kebutuhan keuangan demi mencapai cita-cita masa kecilku: kabur dari rumah. Aku dibersamai oleh laki-laki ganteng, mapan, kaya raya, dan punya banyak gaya saat bercinta. Sempurna.

Tapi

Sesuatu yang sempurna itu pada akhirnya hilang begitu saja. Kesempurnaan menuntut kesempurnaan pula. Sedangkan yang aku punya selalu rasa bosan pada tuntutan. Jadi, kenapa gak aku hanya melanjutkan hubungan dengan apartemen baruku tanpa seseorang yang telah melunasinya? Bisa dibilang tempat tinggalku yang mewah ini sekaligus sebagai kenang-kenangan termewah dari sekian banyak pengalaman bercinta.

***

Aku masih benci malam Minggu.

Sebab ada malam Minggu yang pada akhirnya membawaku jatuh cinta lagi di hari ulang tahunku ke tiga puluh. Ia datang dengan sangat sederhana dan santun. Di hadapannya, aku sama sekali melupakan keinginan untuk menyatukannya tubuh kami. Ruang temu kami lebih sering kami isi dengan mengikuti acara-acara diskusi atau pertunjukan kesenian. Cukup disitu. Dia adalah satu-satunya lelaki yang tega atau mungkin rela membiarkan aku pulang sendiri. Gak ada tawaran mampir sebentar di kamar. Ada sebuah keputusan untuk mengikuti arus permainan yang dia ciptakan. Sampai akhirnya aku benar-benar hanyut di arus keteduhan rasa yang dia bangun.

"Aku sayang sama kamu", Bodoh! Bisa-bisanya aku lebih dulu bilang begitu.

"Aku tau." Jawaban yang singkat dan cukup sialan. "Aku cukup merasakan perasaan kamu. Makasih ya", lanjutnya.

Jangan pikir setelah suasana seperti itu dia mau mengantarku pulang atau mampir rumahku. Sama sekali gak. Dia hanya memanfaatkan fitur cek lokasi terkini melalui aplikasi yang menghubungkan ponsel kami. Itu caranya memastikan aku dalam keadaan selamat sampai di tempat tinggalku. Awalnya aku merasa aneh. Lama kelamaan aku terbiasa dan merasa justru hal yang dilakukan amatlah manis.

Gaya berpasangan kami sama sekali gak menyentuh ranjang. Berangkat dari itu, aku bermaksud menceritakan masa lalu yang kusebut sebagai rahasia. Leherku seperti dicekik saat mengawali cerita tentang ayah dan ibuku yang diam-diam mendidikku akrab dengan hubungan badan. Air mataku mengalir deras saat aku mengakui bagaimana aku menjalin hubungan dengan pasangan-pasangan sebelum dirinya. Malam Minggu kala itu menjadi malam Minggu paling sepi. Senyap.

Kemudian di malam Minggu selanjutnya ia datang kembali. Menyatakan tanpa rasa kecewa tapi justru penyesalan karena ketidakmampuan dia untuk menerima pengakuan atas rahasia masa remajaku. Malam Minggu kala itu, semua terasa lenyap.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun