Masa depan Indonesia berada dalam tangan generasi muda. Mereka merupakan harapan bangsa untuk kemajuan dan perkembangan bangsa ini kedepannya. Namun apa jadinya jika hak-hak para penerus bangsa ini tidak diperjuangkan, terlebih lagi tidak diperdulikan. Keresahan-keresahan tersebut yang mendorong munculnya berbagai sekolah alternatif.
Waktu itu, sore hari pukul tiga, di salah satu rumah warga di bantaran Kali Code Yogyakarta anak-anak kecil terlihat sedang berkumpul. Mereka fokus memperhatikan seorang wanita yang sedang berbicara. Di depan rumah, sekumpulan anak sedang asyik bermain, sesekali mereka tertawa melihat tingkah lucu teman mereka. Ditemani oleh kakak-kakak mahasiswa, mereka menikmati sore hari itu dengan ceria.
 Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB), salah satu sekolah alternatif di  Yogyakarta. Berdiri pada 20 Mei 2013, sekolah ini berusaha untuk membantu anak-anak disana terhindar dari perilaku yang negatif. "Jadi ketiga founder RBIB, Roy, David dan Lia, saat itu ikut kegiatan bersih-bersih di Malioboro dan ngobrol ingin bantu sosial dengan bentuk yang konsisten.Â
Bu Ruth, seorang penjual di Alun-Alun Kidul mendengar curhatan mereka dan menawarkan untuk mengajar di kampungnya." Cerita Yuniasri Maya Aisyah, Koordinator RBIB. Sejak saat itu, RBIB muncul untuk memberikan bimbingan kepada anak-anak yang tinggal di kampung yang katanya kampung preman tersebut.
Memang tidak mudah awalnya untuk memulai sekolah ini. Apalagi anak-anak yang rata-rata masih duduk di bangku Sekolah Dasar ini belum terbiasa dengan kehadiran RBIB. "Dulu susah diajak belajar, inginnya bermain aja." Ujar Yuniasri. Maka dari itu, anak-anak diberikan aturan yaitu bermain lalu belajar atau belajar lalu bermain. Seiring berjalannya waktu, anak-anak mulai terbiasa dengan kehadiran RBIB, bahkan saat RBIB vakum beberapa bulan, mereka selalu mencari-cari RBIB.
Anak-anak yang ikut dalam RBIB juga mengikuti sekolah formal biasa, maka dari itu RBIB lebih berfokus pada ketrampilan dan budaya yang mungkin sudah mulai pudar di sekolah formal. Beberapa pengajar juga kerap membantu anak-anak untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru sekolah mereka. Sekolah ini diadakan tiga hari dalam seminggu dan diisi oleh pengajar yang rata-rata adalah seorang mahasiswa.
Tiara, salah satu volunteer pengajar RBIB, Â mulai bergabung dengan sekolah ini pada Februari 2014. Bermula dari info di Twitter, ia tertarik untuk ikut membantu mengembangkan pendidikan anak-anak di Kali Code ini.Â
Meskipun awalnya ia masih canggung, namun seiring berjalannya waktu ia bisa membiasakan diri. "Dulu waktu pertama kali kesini merasa asing soalnya mayoritas kakak-kakak yang lain beragama Kristen. Tapi karena adeknya Muslim jadi penguatnya itu adek-adeknya. Jadi lebih gampang buat deketin mereka, mungkin karena satu aliran kali ya." Ceritanya.
Memang tidak mudah menjadi pengajar bagi anak-anak di bantaran Kali Code ini. Kerap ia mereka harus bersabar menghadapi tingkah laku anak-anak didik mereka. Namun ia selalu senang bila berada di RBIB. "Harapannya mereka punya pengalaman yang baik, dan saat sudah besar mereka bisa menghadapi masa depan dengan penuh tanggung jawab." Ujarnya saat ditanya mengenai harapan bagi anak-anak didiknya di masa depan.