Dalam sistem Taoisme, konsep Te sebenarnya bukan hanya ontologik/metafisik sebagaimana telah digelar depan, melainkan sekaligus juga merupakan terminologi etis. Oleh karena itu, sebagaimana kutipan dari Fung Yu-Lan di depan tadi, di samping Te diartikan sebagai "daya", ia juga diartikan sebagai "kebajikan". Akan tetapi hendaklah dipahami, bahwa arti kebajikan di sini bukanlah merupakan lawan dari "keburukan". Kebajikan di sini lebih mengacu pada makna "kesederhanaan", "kewajaran",
"kepolosan", "kemurnian", "kealamiahan". Hidup yang bijak ialah Dengan demikian, hendaknya menempatkan kesederhanaan
prinsip hidupnya. Kesederhanan (p'u) merupakan gagasan penting dalam Taoisme.
Tao sendiri, oleh Lao Tzu, digambarkasn sebagai "Balok Yang Belum Terukir" (p'u): polos, lugu, sederhana. Tiada sesuatu pun yang lebih sederhana dibanding Tao. Te adalah sesuatu yang paling sederhana berikutnya, dan orang yang mengikuti Te-nya haruslah menjalani hidup sesederhana mungkin (Fung Yu-Lan, 1990:133).
Lao Tzu juga menekankan agar manusia mempunyai sedikit pengetahuan saja. Pengetahuan itu sendiri merupakan objek keinginan. Dari lain pihak, pengetahuan itu juga memungkinkan manusia mengetahui lebih banyak tentang objek keinginan dan sekaligus menjadi sarana untuk mendapatkan objek keinginan itu.
Dengan demikian, pengetahuan merupakan majikan dan sekaligus budak keinginan. Bagaikan lingkaran setan, semakin banyak pengetahuan, semakin banyak keinginan; begitu pula, semakin banyak keinginan, kian banyak pula pengusahaan pengetahuan, sehingga orang tidak tahu lagi kapan merasa puas, dan di mana harus berhenti. (Fung Yu-Lan, 1990:134; Fung Yu-Lan, 1952:189).
"When intelligence and knowledge appeared, the Great Artifice (ta wei) began",
", demikian tulis Lao Tzu dalam Tao Te Ching bab 18.
Agar kehidupan tidak disesaki oleh ta wei, maka manusia hendaklah memahami dan menghayati wu wei. Istilah wu wei dapat diterjemahkan sebagai "tanpa bertindak" (Tan Tjoe Som,1962:27) atau "jangan berbuat apa pun" (Creel, 1989:112) atau "tidak mempunyai kegiatan", "tidak berbuat" (Fung Yu-Lan, 1990:132), juga diartikan "jangan mencampuri" (Yosef Umarhadi, 1993:79). Meski pun para penulis yang dikutip itu mengekspresikan nuansa kata yang bervariasi untuk memaknai wu wei, namun agaknya semua sepakat bahwa hendaknya dipahami bahwa dalam pengertiannya yang tepat wu wei bukanlah seruan untuk sama sekali pasif.
Wu wei sebenarnya menganjurkan manusia agar berbuat sesuai dengan kodratnya, secara wajar, alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa, dan tanpa tujuan pemuasan keinginan. Konsekuensinya, kewajaran satu tindakan
ialah tidak melakukan "agresi" terhadap apa pun (Yosef Umarhadi, 1993:79). Segala-galanya dibiarkan "berlangsung" menurut apa
adanya; jangan "dicampuri"', jangan direkayasa, jangan dibuat-buat, jangan disiasati. Jadi, secara paradoksal dapat dikatakan: bertindak dengan tanpa tindakan. Kebijaksanaan wu wei sering ditamsilkan dengan contoh seperti air, kayu yang belum terukir, wanita, dan jabang bayi.
Dalam Tao Te Ching bab 78 dikatakan: "Tiada benda yang lebih lemah dari air. Tetapi tidak satu pun yang lebih kuat dari padanya dalam mengalahkan kekerasan. Untuk ini tidak ada yang bisa menggantikan. Bahwa kelemahan mengalahkan kekerasan. Dan kelembutan mengalahkan kekakuan. Semua orang tahu itu, tetapi tidak ada yang dapat melaksanakannya.
Kesimpulan dari pepatah tersebut adalah kontrol diri. Pengendalian diri adalah konsep yang sangat penting dalam filosofi Taoisme. Dalam Taoisme, pengendalian diri bukan hanya tentang menahan keinginan atau emosi, tetapi lebih kepada harmonisasi diri dengan aliran alami kehidupan, dan memahami kedamaian batin melalui kesadaran penuh terhadap diri sendiri dan dunia sekitar. Berikut adalah beberapa prinsip pengendalian diri menurut Taoisme:
1. Wu Wei (Tidak Bertindak Secara Berlebihan)
Salah satu ajaran kunci dalam Taoisme adalah Wu Wei, yang sering diterjemahkan sebagai "bertindak tanpa paksaan" atau "bertindak sesuai dengan alur alami". Wu Wei bukan berarti tidak melakukan apa-apa, tetapi lebih kepada menghindari tindakan yang terburu-buru atau berlebihan. Dalam pengendalian diri, ini berarti bahwa kita harus mengikuti jalannya kehidupan dengan tenang dan tidak memaksakan kehendak kita sendiri. Dengan demikian, kita bisa mengendalikan emosi dan reaksi kita terhadap situasi tanpa terjebak dalam stres atau ketegangan yang tidak perlu.
2. Menjadi Saksi dari Pikiran dan Emosi (Kesadaran Diri)
Taoisme menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai bagian dari pengendalian diri. Salah satu cara untuk mengendalikan diri adalah dengan menjadi saksi bagi pikiran dan emosi kita tanpa terlarut di dalamnya. Taoisme mengajarkan untuk mengamati pikiran dan perasaan yang muncul tanpa terlibat atau menilai mereka, sehingga kita tidak terbawa oleh reaksi impulsif. Dengan menjadi lebih sadar dan objektif terhadap keadaan internal kita, kita dapat mengelola perasaan dan keinginan dengan lebih baik.