Mohon tunggu...
AHMAD ARDANI
AHMAD ARDANI Mohon Tunggu... -

Belajar membangun bisnis yang syari'ah dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kotak-Kotak Kehidupan

28 Agustus 2014   04:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Aku malu ketemu mereka, nanti aku bisa mati kutu kalau sama mereka, mereka aja orang-orang kaya semua kok."

"Aku ga PD je ngumpul bareng mereka, semuanya kuliah, sedangkan aku kan ga. Aku di rumah aja deh. "

"Aku ga enak ngumpul sama mereka, mereka kan cantik-cantik, sedangkan aku kan begini."

Pernah kan kita mendengar ungkapan-ungkapan itu? Atau malah kita sendiri merasakan perasaan yang tergambar dalam ungkapan itu? Ataupun orang disekitar kita ada yang seperti itu? Mungkin ada, mungkin tidak.

Manusia itu secara tidak sadar akan menkotak-kotakkan dirinya sendiri, pelan tapi pasti mereka membatasi dirinya sendiri dalam sebuah kotak-kotak kehidupan. Padahal kehidupan sendiri tak pernah mengajak ataupun membuat batas, apalagi menkotak-kotakkan manusia. Tapi karena manusia itu makhluk paling sempurna yang mempunyai rasa, dan rasa itulah yang membuat manusia itu terkotak-kotak oleh kehidupan. Rasa Minder atau yang biasa lebih dikenal rasa kurang PD, tapi ada juga yang mengungkapkan kalau itu rasa rendah diri.

Kita gambarkan dalam dunia pendidikan misalnya, kita yang hanya lulusan SMA sederajat akan minder ngumpul sama mereka yang mempunyai lulusan S1, atau yang kuliah. Rasa itu muncul karena ketakutan-ketakutan yang muncul dari dirinya sendiri, rasa yang membuat orang tersebut merasa lebih rendah dari yang lain, atau bahkan menyingkir dari sekalangan orang-orang itu, padahal mereka yang kuliah ataupun lulusan S1 biasa aja dan bisa menerimanya, tapi memang mereka mulai berfikir berbeda karena mereka membutuhkan sesuatu yang berbeda untuk selalu memperbaiki dirinya untuk lebih baik dengan mencari ilmu ataupun pengetahuan yang belum mereka ketahui ditingkat yang lebih tinggi lagi, jadi mereka mencari lingkungan yang bisa mendukung untuk menambah wawasannya.

Atau dari kalangan kita yang baru S1 merasa lebih rendah dari mereka yang udah S2, atau sudah S3 ataupun malah sudah Profesor. Tingkatan-tingkatan itu yang kadang membuat kita merasa lebih rendah dari mereka, padahal mereka sendiri padahal welcome sama kita. Memang disadari atau ga, bahasa kita akan berbeda dengan mereka, semua itu karena pengaruh pengetahuan mereka dan pengalaman mereka yang berbeda dengan kita, tapi kalau kita bisa menyamakan frekuensi bahasanya, sebenarnya mereka akan tetap menerima kita. Tapi memang, mereka biasanya masih haus dalam hal ilmu ataupun pengetahuan, jadi mereka mencari dan terus mencari.

Maka orang-orang yang merasa rendah diri ataupun minder itu akan masuk dalam sebuah kotak-kotak sendiri, mereka akan merasa lebih nyaman dengan sekalangannya, misal lulusan SMA sederjat akan lebih sering ngumpul dengan mereka yang lulusan SMA, atau lulusan S1 akan ngumpul dengan mereka yang S1, dan yang S2 akan ngumpul dengan S2, akan sangat jarang mereka yang SMA bisa ngobrol nyambung sama mereka yang S2, karena mereka sudah merasa minder dulu. Dan hanya mereka yang bisa menyamakan frekuensinya akan bisa nyambung dimanapun mereka berada.

Misal dari dunia kehidupan sosial secara materi kaya atau miskin. Akan sangat terlihat sekali antara si kaya dan si miskin kalau kita tidak memahaminya. Si miskin kadang lebih merasa benar sendiri, dan merasa orang kaya itu sok sokan ataupun si kaya itu sombong, padahal si miskin sendiri yang mungkin kurang bisa menyamakan frekuensinya. Ternyata ada perbedaan pandangan yang sangat signifikan antara si kaya dan si miskin ini, perbedaan itu ada dalam pandangan pengelolaan keuangannya. Si Miskin akan lebih konsumtif dari si Kaya itu, tapi si Miskin akan lebih merasa benar. Yup, karena si Miskin akan jauh mengikuti egonya sendiri, coba bayangin si Miskin dengan Pendapatan sama dengan si Kaya, tapi si Miskin ini prosentase pengeluarannya akan jauh lebih banyak dari si Kaya, misal Si Miskin ini mungkin bisa sampai 80% dari pendapatannya, dan si Kaya ini mungkin hanya 50% dari pendapatannya untuk konsumtif, sisanya akan ditabung ataupun diinvestasikan. Pola ini ternyata lama kelamaan akan mencari sebuah kebiasaan yang menjadi sangat berpengaruh kemudian akan berkembang menjadi sebuah karakter manusia itu sendiri.

Disadari atau tidak, manusia itu akan membuat kotak-kotak kehidupannya sendiri, mencari kenyamanannya sendiri, yang berbeda itu akan buat mereka bukan golongannya. Padahal mereka yang kita gambarkan pendidikan lebih tinggi ataupun Si Kaya ini akan tetap terbuka dengan yang lain, siapa saja, tapi mungkin mereka akan jauh lebih mengoptimalkan tentang efektif dan efisien waktunya, jadi kita wajib menghargai itu semua.

Semua itu tergantung kita sendiri dalam sebuah pandangan kita, dan semua itu juga sangat tergantung kita menyikapinya, BUKAN salah mereka. Kalau mereka bisa S1, S2, S3, ataupun Profesor itu karena mereka mau mengusahakannya. Ataupun mereka yang Kaya, mereka mau belajar dalam hal pengelolaan keuangannya. jadi tak perlu minder ataupun rendah diri, kita semua sama, terbukalah untuk menjadi manusia-manusia yang jauh lebih baik karena tak ada manusia yang sempurna. Wallahu a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun