Saya mengekspresikan rasa syukur saya atas turunnya hujan dengan cara meminum kopi sembari mengerjakan tugas kuliah. Sedangkan cara anak itu memaknai hujan sebagai rahmat dari Tuhan dengan terus bergerak riang dalam keadaan tetap berjualan.Â
Rasanya, bagi anak itu, hujan dan tidak hujan itu sama saja---adalah waktu hidup dipertaruhkan agar layak dijalani, persis seperti yang dikatakan oleh Sutan Sjahrir: "Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak layak dimenangkan."
Sedangkan ada juga orang yang memandang saat hujan sebagai waktu yang pas untuk melepas lelah alias beristirahat, dan mungkin saja orang itu adalah Anda. Ada pula yang memandang saat turunnya hujan sebagai momentum yang pas untuk memahat prasasti puisi, biasa itu berlaku pada para sastrawan.
Dan di saat hujan, ada juga sebagian orang yang waswas memikirkan keselamatan diri, keluarga, dan lingkungannya. Pasalnya, tak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu pasti kapan waktu hujan reda dan banjir tiba.Â
Saya pernah mengalaminya, dan yang biasanya dilakukan hannyalah meminta pada Tuhan untuk bilang kepada hujan agar ketika datang ke bumi tidak membawa musibah, mengingat tak seluruh kondisi tanah bisa menyerap air dengan baik sebagaimana mestinya.
Namun apa pun yang nantinya akan hujan bawa, entah musibah atau kehijauan tumbuhan, saya sangat suka dan mensyukurinya. Paling tidak rintiknya, bagi saya, adalah nyanyian langit mengajak penghuni bumi bergembira menjaga alam.
Menurut Rahim (teman kuliah saya), siapa pun yang ingin tumbuh bersama alam semestinya menikmati hujan, seperti yang pepohonan lakukan.Â
Baginya, hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa, bukan cemas apalagi berkeluh kesalah. Darinya saya belajar memandang dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya---dan sebaik-baiknya harapan adalah perbuatan.
Melalui anak kecil penjual gorengan keliling saya merefleksikan tentang banyak hal. Pikiran saya pun terbawa pada puluhan ribu senyuman yang penuh riang-gembira di tengah hujan, angin, dan dalam cuaca seperti apa pun.Â
Senyuman yang berasal dari wajah-wajah pasukan pelangi penjaga DKI Jakarta, yang mana tugas mereka adalah menjaga alam lestari dan kehidupan warga DKI Jakarta tetap indah.
Mereka disebut "pasukan pelangi" karena seragam yang mereka kenakan jika hendak pergi ke medan juang itu berwarna-warni, yaitu seragam berwarna oranye, hijau, dan biru. Jumlah mereka puluhan ribu. Saya sendiri biasa menyebut mereka sebagai pasukan langit penjaga bumi.