Seperti yang kita ketahui, (sebagian besar) perkotaan dan kemacetan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kemacetan sendiri merupakan buah dari beberapa faktor permasalahan yang disebabkan oleh penduduk kota itu. Beberapa faktor diantaranya adalah meningkatnya populasi penduduk yang berbanding lurus terhadap permintaan transportasi tetapi belum didukung dengan adanya sarana dan prasarana transportasi yang baik. Sehingga penduduk lebih memilih beralih menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Pola pengaturan transportasi ini seperti benang ruwet yang belum ditemukan pangkal ujungnya. Sederhananya saja, kita ingin kota bebas macet tapi keadaan sarana dan prasarana belum baik. Apa boleh buat? Untuk memenuhi kebutuhan intensitas hidup, lebih baik menggunakan kendaraan pribadi yang dirasa lebih praktis, padahal nyatanya tidak.
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah captionpada postingan dari akun instagram @mrtjkt. Isinya mengenai kawasan transit terpadu atau biasa yang disebut Transit Oriented Development. Jadi, apa sebenarnya Transit Oriented Development ini sendiri? Lalu, apa kaitannya dengan ulasan latar belakang kemacetan perkotaan yang rumit seperti di atas? Konsep ini sangat menarik untuk dibahas, apalagi untuk masalah perkotaan sebagai upaya mewujudkan kawasan transportasi yang berkelanjutan.
Banyak yang salah kaprah
Transit Oriented Development merupakan konsep yang mengintegrasikan penggunaan tata ruang guna mengakomodasi berbagai fungsi seperti kegiatan bekerja, berhuni dan berekreasi dalam satu kawasan melalui optimalisasi jaringan angkutan umum massal dan jalur pedestrian yang dapat mempermudah warga kota untuk mengakses dan menjalankan berbagai fungsi kegiatan. Dengan adanya konsep TOD ini, diharapkan warga kota dapat berpindah dari tempat tinggal menuju tempat tujuan dengan berjalan kaki, bersepeda atau menggunakan kendaraan umum.Â
Beberapa orang mengartikan konsep TOD ini hanya sekadar pembangunan hunian yang berdekatan dengan stasiun angkutan umum massal. Tetapi nyatanya bukan demikian. Konsep ini justru harus mementingkan aksesibilitas penghuni kawasan tersebut maupun pemakai moda transportasi massal, transit bagi transportasi publik dan kenyamanan dalam berjalan kaki dengan penyediaan jalur pedestrian.
Transit Oriented Development ini merupakan salah satu strategi penanganan lalu lintas yang berada pada level makro. Seperti pada pembahasan sebelumnya, level makro yang dimaksud disini adalah penataan ruang yang dikembangkan ke arah model - model perencanaan kota. Pada dasarnya, TOD harus memberikan alternatif bagi pertumbuhan pembangunan kota, suburban dan lingkungan ekologis yang dirumuskan dalam 7 prinsip urban design Transit Oriented Development. Pertama, mengorganisasi pertumbuhan pada level regional menjadi lebih kompak dan mendukung fungsi transit. Ke dua, menempatkan fungsi komersial, permukiman, pekerjaan dan fungsi umum dalam jangkauan berjalan kaki dari fungsi transit. Ke tiga, menciptakan jaringan jalan yang ramah terhadap pejalan kaki yang secara langsung menghubungkan destinasi. Ke empat, menyediakan campuran jenis, segmen dan tipe pemukiman. Ke lima, melestarikan ekologi, dan menciptakan ruang terbuka berkualitas tinggi. Ke enam, menjadikan ruang publik sebagai fokus dari orientasi bangunan. Dan terakhir adalah mendorong adanya pembangunan yang bersifat mengisi (infill) dan pembangunan kembali (redevelopment) pada area transit.
Dengan konsep TOD, kita dapat menimalisir fenomena urban sprawl yang merupakan pemekaran kota ke daerah - daerah di sekitarnya yang tidak terstruktur, acak dan tidak terencana.
Yang sudah - sudah....
Beberapa Negara khususnya di kawasan Asia sendiri telah menerapkan konsep TOD ini. Berikut adalah beberapa contoh Negara - Negara di Asia yang telah menerapkan konsep ini :
- Stasiun Hongkong, Wan Chai Dan Admiralty
- Stasiun Kyoto
- Roppongi Hills, Tokyo
Perencanaan Konsep TOD
Indikasi dengan adanya perencanaan pembangunan yang tidak terorientasi pada kendaraan pribadi melainkan beriorientasi pada angkutan umum massal dan pejalan kaki, konsep TOD ini mulai dicanangkan. Pada tahun 2013 silam, kota Jakarta telah memiliki konstruksi pembangunan angkutan umum massal berbasis Mass Rapid Transit (MRT). Proyek ini dimulai dengan pembangunan pada Fase I sepanjang + 16 kilometer dari terminal Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia yang memiliki 13 stasiun dan 1 Depo. Sedikitnya 8 Stasiun dari 13 stasiun yang dibangun pada proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta fase pertama ini, akan dikembangkan sebagai hunian berbasis Transit Oriented Development ( TOD).