Beberapa penulis lain mendapatkan banyak sekali rintangan di awal kepenulisannya, seperti ditolaknya karya penulis oleh media, dll. Sedangkan Nanda malewati semuanya dengan relatif mudah.Â
Karena yang Nanda lakukan pada dasarnya bukan mencipta, menuangkan ide-idenya dan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan fiksi dan non fiksi. Tetapi lebih kepada memilih dan memilah karya orang lain yang berdasarkan persepsinya bagus, menarik dan baik kemudian menyadurnya, menjiplak, dan menjadikan karya tersebut sebagai karyanya sendiri.
Kasus dalam dunia literasi yang memalukan. Betapa banyak pihak yang telah dirugikan. Pencipta karya asli, media, dan yang paling dirugikan adalah pembaca.
Dan pengaruh negatifnya bukan hanya terhadap pelakunya sendiri, akan tetapi juga lingkungan pendidikannya, lingkungan pergaulannya, juga keluarganya turut merasakannya.
Stop Plagiarisme
Plagiarisme bukan hanya dilakukan oleh Nanda saja. Jika didalami lagi, lingkungan awal pembentuk perilaku pelakulah yang sangat berperan menjadikan seseorang menjadi plagiator. Seperti halnya sangat lemahnya pengawasan terhadap karya-karya pelaku, sikap permisifnya sebuah komunitas menulis terhadap anggotanya dengan kecenderungan meniru karya orang lain.Â
Tidak adanya ketegasan dari pihak media yang dikirimi karya oleh pelaku dengan melakukan konfirmasi bahwa karya yang dikirimkan ke media adalah karya asli miliknya dan tidak sedang dikirimkan ke media lain atau diikutsertakan dalam sebuah lomba/even lainnya.
Toh, plagiarisme masih terus merajela. Bagaimana solusinya?
Pemberian sanksi yang berat juga harus diberikan kepada pelaku atau plagiator. Mulai dari sanksi sosial, sanksi akademik sampai kepada sanksi hukum. Permohonan maaf tertulis secara resmi dari pelaku tidak cukup sebagai bentuk tanggungjawab bagi plagiator.Â
Nanda perlu diberi semacam shock-therapy, agar dia dapat memahami betapa berharganya proses berkarya dan karya itu sendiri. Pelaku plagiarisme seperti Nanda perlu diberi sanksi agar serta merta dapat menjadi cambuk untuk dia meningkatkan kualitas dirinya.
Ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban saja tapi juga sebagai proses pembelajaran bukan hanya bagi pelaku, juga bagi khalayak luas—khususnya dalam kasus Nanda ini—dunia literasi.
Dan akhirnya, ini menjadi tugas kita semua untuk mencegah dan mengawasi terjadinya kembali tindakan penjiplakan, meski pun plagiarisme akan terus ada. Paling tidak ada usaha yang konkrit untuk meminimalisirnya, dengan mengupayakan masyarakat literasi yang kritis, menjaga tanggungjawab dan etika kepenulisan, di dunia literasi ke depan.