Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Analyst

Vivamus moriendum est.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ma'nene: Bukti Cinta Keluarga dengan Memanusiakan Mereka yang Telah Tiada

18 Februari 2021   19:24 Diperbarui: 19 Februari 2021   14:38 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Thaib Chaidar from National Geographic Traveler 

Seperti yang sudah disinggung di atas, Ma'nene diadakan sebelum atau sesudah musim tanam. Ma'nene bisa diadakan tiap tahun, bisa juga beberapa tahun sekali. Di Desa Tonga Riu misalnya, Ma'nene diadakan tiap 3 tahun sekali sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa tersebut. Biasanya sanak saudara akan berkumpul dan mempersiapkan berbagai jenis makanan olahan daging babi maupun kerbau. Tak kalah dari Rambu Solo', Ma'nene dilaksanakan dengan menghabiskan dana yang cukup besar. Saking pentingnya acara ini, keluarga besar akan saling patungan atau meminjam dana demi terlaksananya ritual ini.

Ritual ini diawali dengan acara doa bersama dalam bahasa Toraja Kuno. Umumnya, para tetua (Ne') yang akan memimpin acara ini. Doa yang dipanjatkan pun tak bisa dimengerti oleh sembarang orang, karena doa ini merupakan doa khusus untuk menghormati leluhur. Biasanya para tetua akan memohon kepada leluhur agar masyarakat mendapatkan berkah berupa panen yang melimpah.

Setelah kuburan dibuka dan peti diangkat, keluarga akan membersihkan jenazah leluhurnya. Meskipun sudah berusia ratusan tahun, kondisi jenazah masih relatif utuh karena rutin diawetkan. Keluarga akan menggunakan kuas atau kain untuk membersihkan jenazah leluhurnya, secara berurutan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Setelah dianggap bersih, jenazah akan dipakaikan pakaian kesukaan atau pakaian kebanggaan dari profesinya ketika masih hidup. 

Namun kebanyakan warga akan memberikan pakaian sebagus mungkin berupa setelan jas lengkap dengan dasi dan kaca mata. Sedangkan bagi jenazah perempuan akan dikenakan gaun atau pakaian adat Toraja. Yang menjadi catatan, dalam ritual ini, pantang untuk memakaikan kain berwarna hitam. Pokoknya, keluarga akan menyiapkan pakaian terbaik untuk leluhurnya sesuai dengan kemampuan finansial mereka.

Biasanya, jenazah yang telah memakai pakaian baru akan diarak keliling desa, namun terkadang hal ini tidak dilakukan sehingga ritual dilanjutkan ke tahap pengembalian jenazah ke liang kuburnya. Selanjutnya keluarga besar akan berkumpul di rante (halaman yang luas) dan disana mereka akan beribadah dan makan bersama, tahapan ini disebut Mantutu. 

Dalam ritual ini, tak ada lagi isak tangis. Semua anggota keluarga akan bergembira, saling mengobrol dan berfoto bersama dalam rangka temu kangen. Nuansa kekeluargaan akan sangat berasa, mereka yang masih hidup akan menyantap hidangan bersama-sama dengan keyakinan bahwa leluhur ada bersama mereka dan mencicipi sesajian khusus yang telah mereka persembahkan.

Makna Ma'nene bagi Masyarakat Toraja

Ma'nene tak sekadar ritual membersihkan dan memakaikanm baju baru terhadap mayat leluhur. Ma'nene menggambarkan betapa kuatnya ikatan kekerabatan masyarakat Toraja. Mereka percaya, kematian tak akan pernah memutuskan tali kekerabatan. Bagi masyarakat yang menganut kepercayaan Aluk Todolo (agama nenek moyang yang merupakan perwujudan Animisme tua), Ma'nene merupakan sarana pemujaan, memanjatkan doa dan pengharapan agar para leluhur datang. Mereka memanjatkan doa agar para leluhur melimpahkan banyak berkah serta kelancaran dalam segala aspek kehidupan, juga agar mereka terhindar dari malapetaka dan bencana.

Berbeda dengan penganut Aluk Todolo, masyarakat Toraja penganut agama Kristen melaksanakan ritual ini dengan tujuan untuk melestarikan budaya leluhur. Mereka memandang ritual ini sebagai perwujudan kasih sayang dan tanda terima kasih mereka atas segala kebaikan yang telah diberikan oleh leluhur. Dalam prosesnya, Ma'nene versi Kristen tidak diikuti dengan penyembahan dan doa-doa kepada arwah, akan tetapi diganti dengan prosesi ibadah yang dipimpin oleh pendeta.

Dua agama tersebut memang memiliki cara yang berbeda dalam menjalankan ritual Ma'nene. Namun keduanya tidak menghilangkan esensi penting dari ritual itu sendiri, yakni nilai-nilai kekeluargaan dan kasih sayang. Keduanya menempatkan anggota keluarga yang sudah meninggal sebagai bagian dari keluarga yang akan selalu mereka cintai dan mereka anggap ada. Bagi mereka, keluarganya tak pernah benar-benar pergi, melainkan tetap tinggal dan menetap di dalam hati. Sungguh tradisi yang amat indah dan berharga. Kedepannya, semoga ritual ini senantiasa lestari dan turut mewarnai keberagaman negeri ini .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun