Untuk Menutupi Aib Keluarga
Keluarga adalah harta yang paling berharga, katanya. Keluarga adalah rumah tempat kita pulang, begitu wacananya.Â
Oleh karena itu, wajar apabila keluarga menjadi pihak yang paling diharapkan oleh korban pemerkosaan untuk melindunginya. Ketika korban ketakutan, kesakitan, dan mengalami trauma, korban percaya bahwa keluarga akan mendengarkan dan membantunya.Â
Namun bagaimana jika ternyata keluarga menganggap suatu pemerkosaan sebagai aib bagi keluarga? Mirisnya lagi jika yang dipersalahkan adalah anaknya sendiri, bukan pelaku. Korban pun dipersalahkan dan 'disingkirkan' karena kesalahan orang lain, ketika ia seharusnya dibela.
Akhirnya, keluarga mengambil solusi untuk menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaan. Meskipun tak jarang keluarga korban membuat perjanjian kawin, dalam artian pernikahan dilakukan hanya demi pengakuan bagi anak yang dikandung korban, namun bagaimana bisa keluarga membiarkan korban disandingkan dengan pelaku di pelaminan?
Menikahkan korban pemerkosaan dengan pelaku, apalagi disertai paksaan hanya akan menambah beban dan penderitaan korban. Tindakan ini seolah menambah lapisan trauma yang mengungkung perasaan korban.
Korban yang sebenarnya ingin sekali memberontak dan mencari keadilan, mendadak menjadi semakin tak berdaya karena stigma dan desakan keluarga. Akhirnya, korban harus menerima pelaku sebagai suami dan pendamping hidupnya.
Perangai Judgemental Masyarakat yang Menutup Peluang Pengaduan
Orang-orang dengan mudahnya mendefinisikan suatu pemerkosaan sebagai perbuatan "mau sama mau" karena kedua pihak merupakan sepasang kekasih atau pihak perempuan memang memiliki citra negatif di masyarakat. Padahal, dalam hubungan pacaran pun bisa terjadi pemerkosaan. Parameter "mau sama mau" ini benar-benar tidak jelas.Â
Bagaimana Anda bisa menjelaskan suatu pemerkosaan didasari "mau sama mau" padahal korbannya depresi? Bagaimana kita bisa menuduh perbuatan itu atas dasar mau sama mau padahal kita tak melihatnya sendiri?