Pernahkah Anda mendengar orang tua menasihati "Kalo nyapu yang bersih, nanti suaminya brewokan lho!", atau "Ojo lungguh nang ngarep lawang, mengko ndak angel entuk jodho" (Jangan duduk di depan pintu, nanti susah mendapat jodoh). Lantas Anda dengan segenap rasio scientific tanpa ragu membantah dengan ngeyelnya "Lah, memang apa hubungannya nyapu sama fisik suami?", "Ih nggak nyambung banget masa duduk di depan pintu bikin susah dapet jodoh?."
Mau dinalar seperti apapun, ya memang nggak nyambung, nggak sinkron, nggak ada korelasinya. Kalau orang Jawa nyebut sih "ora gathuk". Tapi mengapa orang tua kita sangat mempercayai hal-hal semacam itu?
Nah, barangkali konsepnya begini, dunia boleh saja semakin modern, produsen kendaraan boleh saja menemukan inovasi kendaraan yang kecepatannya menyaingi kilat.Â
Pembangunan Gedung-gedung pencakar langit boleh saja merambah hingga ke pelosok negeri. Bahkan oknum open minded jadi-jadian boleh saja mengklaim bahwa budaya tradisional sudah tidak relevan diterapkan di jaman sekarang.
Namun bagi sebagian masyarakat Indonesia, ada begitu banyak hal mistis yang tak akan tergerus zaman. Mau semaju apapun peradaban, ada nilai-nilai bersifat sakral yang sudah meresap ke dalam jiwa mereka, dan dipercaya hingga puluhan generasi. Salah satunya adalah tabu, atau yang lebih akrab disebut pamali.
Pamali merupakan pantangan-pantangan bagi seseorang dalam melakukan aktivitas sosialnya. Pantangan ini dianggap memiliki pesan moral dan akibat, sehingga mampu mencegah seseorang untuk tidak melakukan sesuatu, agar terhindar dari akibat yang diancamkan.Â
Pamali masih sangat dipegang erat, utamanya oleh masyarakat pedesaan dan suku-suku primitif. Namun, bukan berarti di kota-kota besar sudah tidak ada pamali. Karena banyaknya jumlah masyarakat desa yang mengadu nasib di perkotaan, beragam pamali pun eksis di perkotaan.Â
Contohnya saja, ancaman "Kalo nyapunya nggak bersih nanti suaminya brewokan lho!", sudah menjadi lagu sehari-hari bagi para ibu dalam rangka mengingatkan anak-anak gadisnya agar menyapu dengan bersih.
Padahal apa hubungannya antara menyapu dan brewok suami?, toh kalau benar-benar brewokan kan bisa dicukur sampai bersih? Lagipula kalau brewokannya seperti Zayn Malik bukannya malah ganteng?
Namun nampaknya anak-anak gadis memilih tidak membantah, biarpun ancaman ibunya terdengar tidak masuk akal, lebih baik menyapu dengan bersih daripada kena omel, kan?. Barangkali inilah yang membuat pamali tetap eksis di era modern. Biarpun tidak bisa dicerna logika atau nilai-nilai terselubung dalam pamali tak lagi mampu dimengerti, namun orang memilih mematuhinya, karena si pemberi pamali adalah orang yang lebih berkuasa atau memegang kendali.
Apabila kita telusuri lebih jauh, ternyata pamali-pamali yang berlaku di masyarakat mayoritas ditujukan bagi perempuan. Sejak masih remaja, hingga menjadi seorang ibu, banyak sekali pamali yang seolah menjadi alat kontrol bagi perempuan. Saat remaja, perempuan dikenai pamali "Kalau nyapu nggak bersih nanti suaminya brewokan".Â
Saat beranjak dewasa, perempuan dikenai pamali "Jangan menolak lamaran orang, nanti susah datang (lamaran) lagi". Saat menjadi ibu pun perempuan dikenai pamali "Jangan ngebatinin orang pas hamil, nanti anaknya jadi mirip orang itu", dan banyak lagi pamali-pamali lain. Waduhhh, kok semuanya membatasi ruang gerak perempuan, ya?
Handayani dan Sugiarti (2002:11-12) berpendapat bahwa sebagian besar pamali ditujukan kepada perempuan sebagai simbol otoritas laki-laki atas diri perempuan sehingga aktivitas perempuan baik sosial maupun keagamaan akan dibatasi oleh pantangan-pantangan, terutama dalam kehidupan sosial yang banyak dibatasi oleh laki-laki. Atau dengan kata lain untuk mendiskreditkan perempuan dan menguntungkan laki-laki.
Eitss,tapi jangan buru-buru su'udzon dan menafsirkan kalau pamali merupakan perwujudan penempatan perempuan sebagai masyarakat kelas dua, melanggar emansipasi perempuan, pengerdilan hak dan kedudukan perempuan, dan sebagainya. Opini mengenai pamali yang bertujuan mendiskreditkan perempuan adalah opini berdasarkan penalaran pribadi. Tentu setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Bila kita lebih lanjut, barangkali ada nilai atau tujuan mulia mengapa sebagian besar pamali hanya berlaku bagi perempuan.
Pamali Memiliki Niat Baik untuk Melindungi Perempuan
Salah satu peran utama pamali di pedesaan dan daerah pelosok yang masih kental akan hal-hal mistis adalah untuk melindungi kaum-kaum yang dianggap lemah, seperti anak-anak dan perempuan.Â
"Lemah" di sini adalah dalam artian lemah untuk menghadapi serangan magis. Anak-anak dan para perempuan dianggap kurang mampu untuk menangkis serangan-serangan magis yang datang. Berbeda dengan orang-orang tua yang sudah berpengalaman dan mengetahui banyak hal tentang tolak bala'.
Perempuan dianggap sebagai kaum yang rentan terkena guna-guna, santet, dan ilmu sihir. Apalagi jika berkenaan dengan urusan percintaan. Di jaman modern saja masih banyak perempuan yang terkena guna-guna lantaran menolak cinta lelaki, apalagi di jaman dahulu?, khususnya di daerah-daerah yang masih sangat tradisional, pasti lebih dahsyat lagi.
Selain itu, pamali juga ditujukan demi kebaikan perempuan sendiri. Contohnya, pamali menyapu harus bersih, kalau tidak bersih nanti suaminya akan brewokan. Sisi baiknya, perempuan dilatih untuk menjaga kebersihan dan meningkatkan keterampilan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Â
Selain itu, pamali ini bertujuan untuk melatih kerapian perempuan. Mungkin logikanya, seorang perempuan yang rapi dan suka bersih-bersih akan mendapatkan pasangan yang rapi pula, karena katanya jodoh adalah cerminan diri. Jaman dahulu, pria brewokan dipandang sebagai orang yang seram dan dianggap kurang menarik serta kurang peduli pada kerapian. Oleh karena itu, embel-embel "brewok" ini diharapkan bisa menjadi ancaman bagi si gadis. Yaa, meskipun ini termasuk body shaming sih.
Pamali tak melulu menunjukkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Seperti contoh di atas, banyak pamali yang ditujukan untuk melindungi perempuan, karena perempuan dianggap sebagai kaum yang perlu dilindungi. Hal ini juga dijelaskan oleh Thomas dalam Encylopedia Britanica sebagaimana dikutip oleh Freud (1950:31-33), bahwa tabu atau pamali lebih pada bentuk kasih sayang laki-laki atas diri perempuan sebagai bagian dari hidupnya, entah itu sebagai anak, istri, atau orang tua.
Untuk Mengamankan Bayi-Bayi yang Akan atau Baru Lahir
Ada pamali yang mengatakan bahwa perempuan hamil dilarang duduk di depan pintu, karena akan memancing roh jahat yang akan membawa pergi bayinya.Â
Wah, kalau pamali yang satu ini sih susah buat dibantah, karena sudah bawa-bawa hal mistis seperti roh halus. Selain itu, perasaan seorang ibu akan sangat sensitif apabila berkaitan dengan anak-anaknya. Oleh karena itu, demi melindungi anaknya, seorang ibu pasti akan mematuhi pamali yang satu ini.Â
Faktanya, pamali ini muncul bukan semata-mata karena kepercayaan mengenai ancaman roh halus yang membawa bayi, tapi karena pertimbangan kesehatan ibu hamil.Â
Bagaimana tidak, seperti yang kita tahu, duduk di depan pintu rumah, selain mengganggu orang yang akan lewat, juga membuat kita mudah terpapar angin dari luar. Hal ini kurang bagus bagi ibu hamil, karena dapat menimbulkan masuk angin dan mudahnya terpapar virus-virus yang ditularkan melalui udara. Karena di dalam tubuh ibu hamil terdapat janin yang masih lemah, maka hal-hal yang mungkin terlihat sepele seperti ini patut untuk menjadi perhatian.
Selain itu, ada lagi pamali yang mengatakan "Ibu hamil nggak boleh ngebatin yang jelek-jelek tentang orang lain. Nanti anaknya malah jadi kayak orang yang dibatinin". Barangkali pamali ini terdengar konyol. Namun siapa sangka, pamali ini justru memiliki tujuan yang mulia bagi ibu dan anaknya.Â
Seperti yang kita tahu, pikiran kita akan mempengaruhi kesehatan tubuh kita. Oleh karenanya, ibu hamil diajak untuk selalu berpikiran positif dan meminimalisir emosi negatif yang ditahan di dalam hati. Jika terlalu sering memendam emosi negatif karena hal-hal yang tidak disukai, dikhawatirkan kondisi ibu hamil akan melemah dan berpengaruh bagi janinnya.
Pamali Berfungsi untuk Menjaga Moral dan Perilaku
Sekilas pamali memang terlihat mengekang kebebasan, namun pamali juga memiliki tujuan untuk menyelaraskan perilaku seseorang dengan norma-norma yang berlaku. Baik norma di lingkungan tersebut, maupun norma yang sudah diketahui secara umum.Â
Contohnya adalah pamali "Perempuan tidak boleh pulang malam-malam, biar nggak dibawa wewe (hantu)", sekilas memang terdengar seperti sengaja menakut-nakuti dengan menyangkut-pautkan dengan hal-hal mistis. Namun pamali tersebut sebenarnya bertujuan untuk menjaga perilaku perempuan.Â
Seperti yang kita ketahui, masyarakat masih memiliki mindset bahwa perempuan yang sering pulang larut malam (selain karena pekerjaan atau alasan mendesak) adalah perempuan 'nakal'. Oleh karenanya, demi menjaga kehormatan perempuan agar tidak mendapat tuduhan macam-macam, maka pamali ini diberlakukan.
Mengapa tidak mindset masyarakat saja yang diubah, biar nggak asal ngejudge perempuan yang pulang malam?. Mengubah mindset masyarakat yang sudah menjadi bagian dari nilai moral tidak semudah membalikkan telapak tangan. Lagipula, keluar di malam hari akan sangat berbahaya bagi perempuan. Aksi begal, jambret, pelecehan, banyak terjadi di jalanan ketika malam hari, dan sasaran utamanya adalah perempuan. Oleh karena itu, tidak ada ruginya juga apabila pamali ini diterapkan.
Demikian beberapa alasan mengapa pamali lebih banyak berlaku bagi perempuan. Mungkin beberapa pamali dianggap merugikan dan membatasi ruang gerak perempuan, sehingga pamali tersebut harus dihapus.Â
Namun mungkin juga pamali itu memiliki tujuan-tujuan mulia sebagaimana telah diuraikan di atas. Kita bebas untuk memilih dan menentukan akan mengikuti pamali atau bersikap bodoamat, karena pada dasarnya, tidak ada hukuman khusus yang dijatuhkan bagi pelanggar pamali selain ancaman yang mungkin akan menghantui hati.
Menjadi modern bukan berarti membuat kita menganggap pamali-pamali di sekitar kita sebagai hal-hal yang konyol dan cocok menjadi bahan bercandaan. Meskipun tidak diketahui asal-usulnya, dan bukan berasal dari agama, tetapi pamali tetaplah merupakan warisan leluhur yang memiliki hikmah dan sarat akan nilai moral. Apabila tidak percaya, cukuplah kita tidak mengikuti, tanpa harus menghakiminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H