Apabila kita telusuri lebih jauh, ternyata pamali-pamali yang berlaku di masyarakat mayoritas ditujukan bagi perempuan. Sejak masih remaja, hingga menjadi seorang ibu, banyak sekali pamali yang seolah menjadi alat kontrol bagi perempuan. Saat remaja, perempuan dikenai pamali "Kalau nyapu nggak bersih nanti suaminya brewokan".Â
Saat beranjak dewasa, perempuan dikenai pamali "Jangan menolak lamaran orang, nanti susah datang (lamaran) lagi". Saat menjadi ibu pun perempuan dikenai pamali "Jangan ngebatinin orang pas hamil, nanti anaknya jadi mirip orang itu", dan banyak lagi pamali-pamali lain. Waduhhh, kok semuanya membatasi ruang gerak perempuan, ya?
Handayani dan Sugiarti (2002:11-12) berpendapat bahwa sebagian besar pamali ditujukan kepada perempuan sebagai simbol otoritas laki-laki atas diri perempuan sehingga aktivitas perempuan baik sosial maupun keagamaan akan dibatasi oleh pantangan-pantangan, terutama dalam kehidupan sosial yang banyak dibatasi oleh laki-laki. Atau dengan kata lain untuk mendiskreditkan perempuan dan menguntungkan laki-laki.
Eitss,tapi jangan buru-buru su'udzon dan menafsirkan kalau pamali merupakan perwujudan penempatan perempuan sebagai masyarakat kelas dua, melanggar emansipasi perempuan, pengerdilan hak dan kedudukan perempuan, dan sebagainya. Opini mengenai pamali yang bertujuan mendiskreditkan perempuan adalah opini berdasarkan penalaran pribadi. Tentu setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Bila kita lebih lanjut, barangkali ada nilai atau tujuan mulia mengapa sebagian besar pamali hanya berlaku bagi perempuan.
Pamali Memiliki Niat Baik untuk Melindungi Perempuan
Salah satu peran utama pamali di pedesaan dan daerah pelosok yang masih kental akan hal-hal mistis adalah untuk melindungi kaum-kaum yang dianggap lemah, seperti anak-anak dan perempuan.Â
"Lemah" di sini adalah dalam artian lemah untuk menghadapi serangan magis. Anak-anak dan para perempuan dianggap kurang mampu untuk menangkis serangan-serangan magis yang datang. Berbeda dengan orang-orang tua yang sudah berpengalaman dan mengetahui banyak hal tentang tolak bala'.
Perempuan dianggap sebagai kaum yang rentan terkena guna-guna, santet, dan ilmu sihir. Apalagi jika berkenaan dengan urusan percintaan. Di jaman modern saja masih banyak perempuan yang terkena guna-guna lantaran menolak cinta lelaki, apalagi di jaman dahulu?, khususnya di daerah-daerah yang masih sangat tradisional, pasti lebih dahsyat lagi.
Selain itu, pamali juga ditujukan demi kebaikan perempuan sendiri. Contohnya, pamali menyapu harus bersih, kalau tidak bersih nanti suaminya akan brewokan. Sisi baiknya, perempuan dilatih untuk menjaga kebersihan dan meningkatkan keterampilan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Â
Selain itu, pamali ini bertujuan untuk melatih kerapian perempuan. Mungkin logikanya, seorang perempuan yang rapi dan suka bersih-bersih akan mendapatkan pasangan yang rapi pula, karena katanya jodoh adalah cerminan diri. Jaman dahulu, pria brewokan dipandang sebagai orang yang seram dan dianggap kurang menarik serta kurang peduli pada kerapian. Oleh karena itu, embel-embel "brewok" ini diharapkan bisa menjadi ancaman bagi si gadis. Yaa, meskipun ini termasuk body shaming sih.
Pamali tak melulu menunjukkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Seperti contoh di atas, banyak pamali yang ditujukan untuk melindungi perempuan, karena perempuan dianggap sebagai kaum yang perlu dilindungi. Hal ini juga dijelaskan oleh Thomas dalam Encylopedia Britanica sebagaimana dikutip oleh Freud (1950:31-33), bahwa tabu atau pamali lebih pada bentuk kasih sayang laki-laki atas diri perempuan sebagai bagian dari hidupnya, entah itu sebagai anak, istri, atau orang tua.