Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Analyst

Vivamus moriendum est.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Open-Minded Vs Closed-Minded: Tak Melulu Soal Hal-hal yang Berseberangan dengan Norma dan Agama

12 Januari 2021   17:46 Diperbarui: 12 Januari 2021   18:30 2270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://aminoapps.com/. Hak cipta dimiliki oleh Agent Kieu

Perdebatan dengan embel-embel "open-minded" seringkali menempatkan pemikiran yang didasarkan pada ajaran agama kedalam posisi "closed- minded". 

Demi predikat "open-minded", seseorang terombang-ambing dalam logika manusia dan mengesampingkan ajaran agama yang sudah menjadi ketetapan jauh sebelum ia hadir di dunia ini.

Sedangkan mereka, yang dijuluki sebagai orang-orang "closed-minded" konsisten berpegang teguh pada agama, dan dengan lantangnya mengkafirkan serta menghakimi orang lain, tanpa mau mendengarkan pendapat yang berbeda.

Akhirnya, dalam praktik sehari-hari, definisi open-minded menyempit untuk hal-hal yang sifatnya melanggar norma dan agama. Demikian juga pemahaman mengenai closed-minded jadi menyempit dan mengarah pada si dogmatis yang mempertahankan tradisi serta ajaran agamanya tanpa mentoleransi realita bagaimana dunia sudah berubah dengan begitu pesatnya.

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai seks bebas, penggunaan jilbab, LGBT, dan sebagainya seolah melahirkan dua golongan. Yakni open-minded dan closed-minded. 

Mereka yang menggaung-gaungkan perubahan yang melanggar norma dan aturan agama menganggap dirinya berpikiran terbuka dan maju. Mereka terus memaksakan gagasannya tanpa bisa mengendalikan diri dan tidak tahu timing untuk berhenti berbicara atau mendengarkan pendapat dengan sudut pandang yang berbeda. 

Padahal, mendengarkan kritik orang lain yang didasarkan pada ajaran agama atau norma juga merupakan tanda bahwa ia adalah orang yang open-minded.

Sedangkan mereka yang karena berpegang teguh dengan ajaran agama -sehingga dijuluki sebagai kaum "closed-minded"-, dengan lantangnya berani mengatakan "LGBT itu dosa!, pasti masuk neraka", "Perempuan yang tidak berhijab nanti bakal dilaknat Allah", dan sebagainya. 

Mereka tahu bahwa apa yang mereka pegang teguh adalah suatu kebenaran karena sudah tertulis dalam kitab suci atau menjadi tradisi turun-temurun. 

Namun sayangnya mereka tidak mau mengakomodasi pemikiran orang lain dan kemungkinan kalau-kalau mereka belum memahami kitab suci dengan benar. 

Atau mungkin saja, mereka menyerap tradisi secara saklek tanpa berpikir kritis untuk mencari asal usul dan tujuannya. Mereka terjebak dalam egonya hingga mengkafirkan orang lain, menjamin bahwa orang lain akan dilaknat, dan meyakini bahwa golongan tertentu akan masuk neraka

Akhirnya keduanya sama saja, makin berdebat justru makin konsisten menjadi kaum closed-minded karena mereka semakin terjebak dalam mindset bahwa gagasan orang lain itu keliru.

Menurut infografis berjudul "Open Mindedness" yang diterbitkan oleh The Positivity Project, mereka yang termasuk dalam kategori open-minded adalah mereka yang mampu mencari bukti atas hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan, menimbangnya secara adil, membangun pengetahuan tentang masalah atau sudut pandang tertentu, serta memberikan rekomendasi atau saran. 

Jadi jelaslah bahwa mereka tidak memaksakan pendapat dan mindsetnya. Orang yang open-minded seharusnya adalah dia yang mau menerima hal-hal baru. 

Mereka mau beradaptasi dalam perubahan dan pola pikir yang berseberangan dengan prinsip yang dipegangnya. Emosional dan pikirannya sudah matang, mau terbuka pada segala sudut pandang tanpa menjustifikasi sudut pandang lain.

Sehingga jelaslah bahwa orang yang menyuarakan gagasan baru yang terdengar asing bagi masyarakat, lalu menstampel dirinya sebagai orang dan open-minded dengan jalan menjustifikasi orang lain adalah kaum closed-minded, merekalah golongan orang-orang closed-minded yang sebenarnya.

Open-minded dan closed-minded tidak melulu tentang persoalan agama. Dua golongan ini selalu hadir dalam tiap diskusi, dari diskusi ndakik-ndakik mahasiswa tentang politik, hingga diskusi sepele bapak-bapak di gardu yang membahas tentang bola.

Memandang open dan closed-minded di luar perdebatan mengenai agama dan tradisi, seperti apakah orang open-minded dan closed-minded yang sebenarnya?

1. Si open-minded gemar mendiskusikan hal-hal baru, sedangkan si closed-minded kesal ketika berdiskusi tentang suatu hal yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Misalnya dalam rapat organisasi kampus, akan muncul banyak usulan baru yang tidak semuanya senada. 

Si open-minded akan dengan senang hati menampung semua usulan dan mendiskusikannya, sedangkan si closed-minded mungkin lebih memilih meninggalkan ruang rapat atau terang-terangan menyatakan bahwa apapun alasannya, usulannya lah yang paling benar.

2. Si open-minded seringkali skeptis pada informasi yang diterimanya sehingga ia menelusuri kebenaran dari informasi tersebut dan mau dengan sabar memberikan pemahaman kepada orang lain mengenai pendapatnya. 

Sedangkan si closed-minded cenderung sibuk memberikan argumen-argumen untuk membuktikan bahwa pandangannya benar, dan malas memberikan pemahaman pada orang lain karena sudah menghakimi bahwa pendapat orang lain itu pasti berseberangan dengannya. 

Misalnya, oknum-oknum feminazi yang rajin sekali berdebat di medsos dan sibuk memberikan seabrek argumen lalu memaksa orang lain untuk "Educate yourself" tanpa mau mendengarkan dan menelaah terlebih dahulu pendapat dari orang lain. Mereka berpikir bahwa mereka adalah kaum open-minded, padahal sebenarnya mereka menunjukkan ciri-ciri kaum closed-minded.

3. Orang open-minded selalu membuka diri pada kemungkinan bahwa pada situasi tertentu, prinsip dan pendapatnya bisa saja salah. Sedangkan si closed-minded cenderung meyakini bahwa apapun yang terjadi, apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang benar akan tetaplah benar. 

Contohnya, anda menganggap bahwa mengandung dan melahirkan adalah kodrat perempuan, hal ini berdasarkan fakta bahwa laki-laki tidak mungkin hamil dan melahirkan. 

Namun bukan berarti anda menganggap perempuan yang tidak pernah mengandung dan melahirkan adalah perempuan yang menyalahi kodratnya. Anda tetap membuka diri pada kemungkinan bahwa di situasi-situasi tertentu, perempuan tidak bisa mengandung dan melahirkan anak.

4. Mereka yang open-minded melihat segala sesuatu dari 2 perspektif dan dan siap untuk menerima konsep yang jauh berbeda. Mereka mampu melakukan "perbaikan" terhadap pemahaman yang sebelumnya diyakininya benar. 

Sedangkan orang-orang closed-minded terjebak pada satu perspektif dan tidak siap untuk melakukan perbaikan terhadap pemahamannya, sehingga mereka akan terus memaksakan pemahamannya itu pada orang lain.

 Misalnya, pernah viral seorang warga twitter julid kepada seorang istri yang menyiapkan bekal untuk suaminya, dengan kata-kata kurang lebih begini "Harus banget apa bekal buat suami?. Suami bekalin istri nggak ada, gitu?". Cuitan tersebut menggambarkan bagaimana seseorang memahami mindset "Seorang istri tidak wajib mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, termasuk memasak untuk suami" secara mentah, sehingga memandang para istri yang memasakkan bekal dengan senang hati untuk suaminya sebagai suatu hal yang membuatnya miris.

Kini, kelompok open-minded sering mendapat stigma buruk dari masyarakat karena dianggap sebagai kelompok yang sering melanggengkan praktik seks bebas, LGBT, dan hal-hal yang menyimpang dari norma. 

Banyaknya kaum close-minded yang berlindung di bawah embel-embel open-minded membuat open-minded menjadi suatu hal yang negatif. Padahal, konsep dari open-minded, apabila diterapkan dengan benar, akan menjadi suatu unsur penting untuk membangun masyarakat dan memajukan pengetahuan.

"Progress is impossible without change; those who cannot change their minds cannot change anything." -GEORGE BERNARD SHAW

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun