Selain itu, kita seringkali tidak melakukan atau mengungkapkan sesuatu karena takut akan reaksi yang ditunjukkan orang-orang. Ekspresi seperti mengerutkan dahi, ekspresi bosan, marah, kesal, bahkan nada kemarahan terkadang membuat kita jadi menutup rapat-rapat apa yang seharusnya kita tunjukkan atau katakan. Melalui media sosial, kekhawatiran itu lenyap, karena kita tidak bertemu secara fisik dengan mereka. Oleh karena itu, kita bisa sekadar mengeluarkan uneg-uneg atau bahkan menunjukkan siapa kita sebenarnya, -yang mungkin tidak akan kita lakukan di dunia nyata-.
3. Mudahnya "Melarikan Diri" Usai Menulis Sesuatu
Salah satu isu yang menunjukkan betapa toxicnya iklim media sosial saat ini adalah komentar-komentar jahat yang menjamur. Banyak orang mengetik apapun yang ingin mereka ketik karena merasa bahwa tidak ada norma atau hukum yang akan menjeratnya.Â
Memang, sudah ada UU ITE yang mengontrol jari kita dalam bermedsos ria, tetapi UU tersebut hanya menjerat hal-hal yang sifatnya serius, seperti pencemaran nama baik, maupun ujaran kebencian dan hasutan, yang biasanya hanya menyangkut seorang tokoh terkenal. Sedangkan untuk masyarakat biasa, komentar-komentar yang menyakiti hati, seperti "Jelek", "Gendut", "Tolol", akan dianggap sekadar angin lalu.
Hampir semua dari kita mengenal Kekeyi, gadis yang viral karena kemampuan make up nya yang sangat bagus itu sering mendapat komentar buruk dari netizen. Banyak dijumpai akun-akun alter yang memberikan komentar-komentar bersifat body shaming. Hal ini menunjukkan adanya online disinhibition effect, karena orang-orang tersebut belum tentu akan memberikan komentar negatif secara langsung.
Meskipun ada pepatah modern yang mengatakan "Sosial mediamu mencerminkan siapa kamu", namun hal itu tidak berlaku bagi akun alter. Beberapa orang yang berlindung di dalam akun alter merasa bebas mengejek penampilan orang lain melalui kolom komentar karena mereka merasa aman dan mudah untuk melarikan diri, baik dari jerat moralitas maupun hukum.Â
Jika berhadapan langsung di dunia nyata, belum tentu mereka berani memberikan komentar buruk, karena khawatir akan mendapat penghakiman moral dan dicecar oleh orang lain. Sedangkan di media sosial, apalagi akun alter, kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan persoalan moral dan cecaran orang, karena dengan sekali klik "log out" semuanya dianggap selesai. Itu artinya, mereka menyadari adanya norma dan hukum, namun mereka tidak dapat mengontrol perilaku mereka ketika mendapat suatu keleluasaan.
Kita seringkali lupa, bahwa apa yang kita tulis akan memberikan kesan bagi orang lain, entah itu baik atau buruk. Meskipun kita sudah menghapusnya, suatu komentar atau postingan negatif yang kita tulis, akan terus diingat oleh orang yang merasa tersakiti. Bahkan pada tahap serius, apapun yang kita posting di media sosial akan bisa dikenai jerat hukum. Kita bisa menggambarkan hal ini dengan meminjam kutipan dari seorang artis Korea yang sering mendapatkan komentar buruk karena adanya fenomena toxic masculinity di masyarakat kita
"Kata-kata setiap orang, baik online maupun offline, memiliki bobot. Sebelum anda memposting sesuatu, sadarilah bahwa anda harus bertanggung jawab atas apa yang anda tulis. Jangan pernah berpikir "Oh apa yang saya katakan tidak berarti apa-apa", karena kata-kata anda akan memberikan efek dan anda akan bertanggung jawab atas itu" -Park Jaehyung Day6 (dengan terjemahan)
Oleh karenanya, mari kita tumbuhkan kesadaran untuk selalu meninggalkan postingan dan komentar positif di sosial media. Karena semua yang kita tulis mengandung konsekuensi, baik berupa jejak digital maupun konsekuensi hukum. Pastikan untuk selalu mengingat bahwa norma-norma sosial seperti menghormati orang lain, menghindari kata-kata kasar, dan tidak menghina orang lain juga ada di lingkungan media sosial, ya!.
Nah itu dia beberapa faktor yang membuat kita menjadi sosok yang berbeda ketika berada di media sosial. Semoga kita dapat memanfaatkan media sosial dan segala kebebasannya secara baik dan bijak.