Dalam jurnal yang sama, Ajeng Dewanti menjabarkan bahwa pemerintah kolonial Belanda membangun kota-kota kolonial seperti Batavia, Bandung, dan Semarang yang kemudian distandarisasi ala ala Eropa. Mulai dari tata ruang kota, tata nilai, hingga gaya hidup di kota tersebut.Â
Mereka membiarkan pribumi berbaur bersama mereka di kota tersebut sehingga memberikan harapan kepada orang-orang pribumi untuk menjalani hidup seperti orang-orang koloni. Kehidupan di kota itu menjadi suatu gambaran kehidupan ideal yang tanpa disadari mengubah identitas mereka.
Meskipun demikian, para pribumi tidak pernah diizinkan menjadi setara dengan orang-orang koloni. Ada garis tebal yang mereka tarik, seolah meminta orang pribumi untuk tahu posisinya. Inilah yang menyebabkan perasaan inferior terus tertanam dalam jiwa para pribumi, karena pada akhirnya mereka tetap menjadi pekerja kasar dengan cara pandang kehidupan ideal sebagaimana para koloni.
Mungkin agak aneh melihat bagaimana fenomena ini masih menjangkit remaja kita, padahal mereka terlahir sekitar 50 tahun setelah kemerdekaan. Namun seperti yang kita ketahui, sulit sekali mengubah mindset seseorang, apalagi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.Â
Hal ini selaras dengan globalisasi yang mendorong kemajuan teknologi komunikasi. Teknologi menfasilitasi kita untuk melihat kehidupan negara-negara maju (baca: negaranya para bule) sehingga kita semakin berpikir bahwa bule lebih unggul dari kita, baik dalam segi penampilan, gaya hidup, bahkan intelegensi.
Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Pada akhirnya mindset warisan kolonial dengan bumbu globalisasi adalah perpaduan tak terpisahkan yang menyuburkan inferioritas mental.
Media Turut Memupuk Glorifikasi Terhadap Bule
Salah satu faktor mengapa inferioritas mental ini semakin sulit untuk dibasmi karena media massa masih sangat mendukung terjadinya glorifikasi terhadap bule. Contohnya saja, beberapa tahun lalu, ketika seorang pria Bali menikah dengan bule.Â
Sebenarnya pernikahan adalah sesuatu yang biasa. Bahkan bule pun hanya manusia biasa, dan dalam pernikahan tersebut si bule bukanlah seorang public figure.Â
Namun pernikahan tersebut mendadak viral hingga pasangan tersebut diundang di sebuah acara TV swasta. Tanpa disadari, hal-hal semacam ini meningkatkan glorifikasi bule di Indonesia.
Banyak masyarakat yang pada akhirnya berpikiran bahwa menjadi dekat dan menjalin hubungan dengan bule adalah sesuatu yang keren. Apalagi didukung dengan adanya media sosial yang meningkatkan keinginan seseorang untuk memamerkan hal yang menurutnya keren, termasuk berfoto atau menjalin hubungan dengan bule.